Jakarta, Gatra.com - Agensi public relations (PR) dan public affairs (PA), Praxis, baru saja menerbitkan rilis survei independen bertajuk “Aspirasi dan Preferensi Mahasiswa pada Pemilu 2024” pada Senin (22/1). Survei ini menangkap pandangan mahasiswa dalam menyambut pemilu nanti. Salah satunya soal politik uang (money politics).
Dengan tagar #PraxiSurvey, Praxis mencatat temuan bahwa sebanyak 42,96% mahasiswa menyatakan bersedia menerima uang serangan fajar, tetapi tidak akan mencoblos kandidat. Hanya 20,08% mahasiswa menyatakan akan menerima serangan fajar dan memilih kandidat, sementara 10,99% lainnya menyatakan tidak akan menerima uang dan tidak akan memilh kandidat.
Bagi Director of Public Affairs Praxis PR, Sofyan Herbowo, temuan ini menunjukkan bahwa mahasiswa masih bersikap independen.
“Fakta membuktikan bahwa praktik politik uang tidak mampu memengaruhi pilihan mereka,” ujarnya dalam keterangan resmi yang diterima Gatra.com pada Senin (22/01/2024).
Lebih lanjut, Praxis juga menganalisis preferensi politik mahasiswa berdasarkan status sosioekonomi atau socioeconomic status (SES). Melalui metode ini, SES bisa menunjukkan bahwa makin tinggi SES, maka politik uang makin tidak efektif.
Data Praxis menunjukkan bahwa sejumlah 29,21% kelompok masyarakat kelas bawah (lower class) mengaku akan menerima uang dan memilih kandidat yang diminta. Sementara itu, hanya 19,89% kelompok masyarakat menengah (middle class) dan 15,94% kelompok masyarakat kelas atas (upper class) mengaku akan melakukan hal serupa.
Di sisi lain, data Praxis juga menunjukkan bahwa 47,51% dari kelompok masyarakat kelas atas, 41,98% dari kelompok masyarakat kelas menengah, dan 27,12% dari kelompok masyarakat kelas bawah mengatakan akan menerima uang, tetapi tidak akan memilih kandidat yang diminta.
Praxis juga mencatat bahwa sejumlah 13,07% dari kelompok masyarakat kelas atas, 10,46% dari kelompok masyarakat kelas menengah, dan 9,87% dari kelompok masyarakat kelas bawah menyatakan akan menerima uang, tetapi juga tidak akan memilih kandidat yang diminta.
Temuan Praxis lainnya menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa sudah putus harapan soal kondisi politik uang dalam iklim politik nasional saat ini. Sejumlah 65,73% mahasiswa mengaku pesimistis bahwa praktik politik uang dapat dihilangkan dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia.
Di samping itu, Praxis juga mencatat sejumlah temuan lainnya, termasuk preferensi mahasiswa soal latar belakang para kandidat capres dan cawapres. Sejumlah 20,88% mahasiswa lebih menyukai kandidat dengan latar belakang politisi, sementara hanya 0,50% responden menyatakan lebih suka kandidat berlatar belakang figur publik atau selebriti.
Dari temuan Praxis, diketahui bahwa mahasiswa tidak begitu menyukai kampanye melalui sarana iklan out of home (OOH) atau alat peraga kampanye (APK) berupa baliho. Sejumlah 21,08% mahasiswa menyatakan bahwa baliho kurang relevan.
Berdasarkan survei Praxis, media sosial (medsos) menjadi sumber informasi andalan para mahasiswa. Sejumlah 66,43% mahasiswa mengatakan bahwa medsos menjadi sumber utama informasi politik bagi mereka.
Saat melihat kandidat di media sosial, data Praxis menunjukkan bahwa mahasiswa paling tertarik pada pernyataan kandidat (66,43%) dan kemampuan public speaking para kandidat (63,14%). Menurut Praxis, hal ini sejalan dengan preferensi kegiatan kampanye yang paling berpengaruh, yaitu debat terbuka (69,93%).
“Saya berharap survei ini dapat mendorong mahasiswa untuk memilih dengan bijak demi menjaga keberlanjutan ekosistem demokrasi yang sehat,” kata Sofyan yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Public Affairs Forum Indonesia (PAFI) itu.
Dosen Departemen Politik dan pemerintahan Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), Arga Pribadi Imawan, juga memaparkan hasil riset kualitatifnya terkait mengapa mahasiswa tetap akan menerima uang serangan fajar meski tidak akan memilih kandidatnya.
“Pemilu diibaratkan seperti ‘pesta’, sehingga memberikan dan menerima uang maupun barang dianggap sebagai sesuatu yang harus atau wajar untuk dilakukan,” ujarnya.
Ketua Departemen Politik dan Pemerintahan serta koordinator Election Corner (EC) Fisipol UGM, Abdul Gaffar Karim, mengatakan baha pentingnya memahami aspirasi mahasiswa yang secara strategis berpengaruh pada hasil pemilu.
Hal itu, kata Abdul, mengingat data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjabarkan bahwa Daftar Pemilih Tetap (DPT) dari kelompok milenial dan Gen Z total menembus persentase 56% dari total pemilih.
“Saya sangat mengapresiasi kolaborasi yang terjalin antara Praxis dan Election Corner (EC) dalam riset ini. Semoga hasil riset dapat bermanfaat bagi masyarakat dan para pemangku kepentingan di pemilu tahun ini,” ujar Abdul.
Content Creator sekaligus Founder Malaka Project, Ferry Irwandi, turut menanggapi temuan survei Praxis ini. Menurutnya, mahasiswa melihat praktik politik uang melalui sudut pandang kritis.
“Anak muda menyadari bahwa imbalan finansial sebesar Rp200.000 untuk lima tahun ke depan tidak sebanding dengan nilai-nilai karakter dan program kerja kandidat,” ujarnya.
Ferry menambahkan bahwa risiko politik uang lebih terasa pada masyarakat menengah ke bawah yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup. “Mereka harus menghadapi realita dan tantangan ekonomi yang mungkin tidak dihadapi oleh kelas sosial lainnya,” ujarnya.
Riset kuantitatif survei Praxis di atas dilaksanakan pada 1-8 Januari 2024. Total responden mahasiswa yang terlibat adalah 1.001 orang dengan rentang usia 16-25 tahun di 34 provinsi di Indonesia.
Survei ini dilakukan dengan pendekatan metode gabungan (mixed method), yakni menggabungkan metode kualitatif dan kuantitatif. Praxis kemudian berkolaborasi dengan Election Corner (EC) Fisipol UGM untuk mengkaji temuan kuantitatif dengan melakukan riset kualitatif pada 15 Januari 2024.
Riset berformat Focus Group Discussion (FGD) ini melibatkan empat akademisi dan mahasiswa perwakilan Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Mulawarman (Unmul), dan Universitas Nusa Cendana (Undana).
Survei kali ini merupakan survei ketiga Praxis. Sebelumnya, Praxis menerbitkan hasil riset petama pada April 2023, dan yang kedua pada Agustus 2023.