Jakarta, Gatra.com - Calon Wakil Presiden (Cawapres) Mahfud MD menyampaikan, ketumpangtindihan sertifikasi tanah, merupakan salah satu alasan maraknya kasus terkait tanah milik masyarakat adat.
Mahfud menjelaskan, setiap pemimpin negara seperti punya pemahaman tersendiri untuk memberikan izin dan hak kepemilikan tanah untuk masyarakat adat. “Dulu di zaman Bung Karno, itu ada UU yang menyatakan, tanah-tanah milik masyarakat adat itu supaya diberikan ke masyarakat adat,” ucap Mahfud MD dalam Debat Pilpres putaran ke IV di Jakarta Convention Center (JCC), Ahad (21/1).
Saat itu, pemerintah membentuk badan Inspektorat Jenderal Agraria yang bertugas untuk mengeluarkan Keputusan Inspektur Jenderal Agraria (KINA) yang mengatur pemberian tanah kepada masyarakat adat. “Tetapi, di zaman Orde Baru, muncul BPN. Sehingga, yang dikatakan yang disebut sebagai produk KINA, bukan berbentuk sertifikat sehingga mentah lagi,” jelas Mahfud.
Semua tanah adat yang sudah diberikan kepada masyarakat dengan KINA, tidak dianggap oleh BPN. Artinya, masyarakat perlu memperjuangkan ulang tanah adat mereka.
Mahfud menegaskan, pemerintah perlu mencapai kesepakatan untuk tanda-tanda atau batasan-batasan penilaian tanah adat yang dapat digunakan dan perlu diakui.
Ia menjelaskan, reformasi birokrasi agraria ini juga sudah menjadi salah satu program yang direncanakan Ganjar-Mahfud.