Home Pemilu 2024 Konsolidasi Prodemokrasi Tolak Pelanggar HAM, Politik Dinasti, dan Neo Orba

Konsolidasi Prodemokrasi Tolak Pelanggar HAM, Politik Dinasti, dan Neo Orba

Jakarta, Gatra.com – Ratusan orang terdiri dari aktivis, mahasiswa berbagai kampus, masyarakat hingga akademisi menyatakan, menolak pelanggar hak asasi manusia (HAM), politik dinasti, dan neo Orde Baru (Orba) dalam konsolidasi prodemokrasi di Jakarta, Minggu (21/1).

Dalam acara bertajuk “Apa Saja Boleh Beda, Musuh Kita Tetap Sama: Pelanggar HAM, Politik Dinasti & Neo Orba” tersebut para mahasiswa, aktivis, akademisi, dan berbagai elemen masyarakat lainnya menyatakan bahwa ketiga unsur di atas sebagai musuh bersama.

“Musuh kita sama, Prabowo sampai hari ini tidak pernah diadili dan dihukum karena dua hal: kuatan dan ketakutan,” kata Parto Bangun dari GERAK 98.

Ia menjelaskan, ketakutan dari pihak-pihak yang meras tidak kuat. Sedangkan kekuatan karena dimiliki oleh orang-orang yang masih kuat atau bisa disebut sebagai perwaris Orba dan antek-anteknya yang masih bercokol.

“Pewaris Orba dan antek-antek pada peristiwa pelanggaran HAM 97/98 masih berkuasa hingga hari ini dan berkolaborasi dengan Jokowi,” ujarnya.

Lebih lanjut aktivis 98 tersebut menyampaikan bahwa pelanggaran HAM sebagai isu musiman setiap kali pemilu atau pilpres, itu merupakan framing yang dibuat penguasa atau rezim saat ini untuk mengelabui.

“Padahal, setiap hari Kamis, kawan-kawan habis-habisan berdiri di depan Istana [Negara Jakarta], tidak lebih dari 1 kilometer, hanya kurang lebih 50-100 meter dari Istana,” ujarnya.

Menurutnya, setiap Kamis mereka konsisten melakukan aksi di depan Istana Negara Jakarta untuk menuntut keadilan dan hukum bagi korban-korban pelanggaran HAM. Namun Presiden Jokowi seolah tutup mata dan telinga karena berkompromi dan berkolaborasi dengan terduga kuat pelanggar HAM.

“Ternyata begitu 2019, Jokowi menang kembali dan betul-betul bergandengan tangan dengan pelanggar HAM, ditarik menjadi menteri, Menhan pula yang notabene anggaranya paling tinggi di kementerian,” katanya.

Parto mengungkapkan, neo Orba kian menyeruak karena kelompok-kelompok tertentu mulai mengintimidasi dan menangkap pihak yang tidak sejalan.

“Pemerintah hari ini berusaha memperpanjang kekuasaannya dengan menitipkan anaknya ke pelaku pelanggaran HAM. Jadi salah satu paslon yang berkontestasi hari ini adalah paslon yang paling bermasalah. Dua-duanya bermasalah,” ujarnya.

Menurut dia, capres-cawapres tersebut bermasalah karena yang pertama, mempunyai masalah masa lalu yang belum diselesaikan dan diadili, serta satunya lagi menjadi masalah di masa depan karena maju dari keputusan yang melanggar etika berat. “Jelas kita harus Tolak. Bukan hanya tidak dipilih, tapi ditolak,” ujarnya.

Lima Dosa Besar Politik

Akademisi Ubedillah Badrun menyampaikan, dari prospektif demokrasi, tata negara maupun sosilologis politik bahwa Jokowi telah melakukan lima dosa besar politik. Pertama, rezim yang memelihara pelanggar HAM. Pasalnya, dia mengangkat pelanggar HAM menjadi menteri dan watimpres. “Siapa yang melindungi pelanggar HAM, dia adalah bagian dari pelanggar HAM itu,” katanya.

Lebih parah lagi, lanjut pria yang yang karib disapa Ubed ini, dia bukan hanya melindungi dan memberikan jabatan, tetapi juga mendukung pelangar HAM tersebut menjadi calon presiden (Capres).

Mahasiswa dari berbagai kampus dan elemen masyarakat mengikuti acara Konsolidasi Prodemokrasi: Tolak Pelanggar HAM, Politik Dinasti, & Neo Orba. (GATRA/Iwan Sutiawan)

Ubed menjelaskan, langkah tersebut mempunyai dampak, yakni indeks HAM Indonesia skornya hanya 3,2. Menurutnya, ini sangat memalukan. “Ada riset yang dilakukan World Economi Forum, bahwa investor asing tidak akan memberikan investasi ke suatu negara ketika negara itu melakukan pelanggaran HAM,” katanya.

Kedua, tidak malu membangun dinasti politik dengan melanggar konstitusi. Ia awalnya mengira bahwa dia cukup menjadikan anak dan menantunya sebagi wali kota dan keluarganya sebagai bagian dari jaringan bisnisnya.

Nyatanya, lanjut mantan aktivis tersebut, dia menjadikan anaknya sebagai cawapres dengan merusak hukum tata negara dan konstitusi. “Jadi dosa besar kedua, melanggar konstitusi karena dia membawa politik dinasti dengan merusak hukum dan konstitusi,” ujarnya.

Ketiga, membuka pintu lebar-lebar bagi Orba. Kekuatan Orba menjadi bagian penting dari kekusaan saat ini. Padahal, puluhan tahun lalu rakyat menginginkan Indonesia yang lebih civilies, beragam, maju, adil, dan sejahtera.

Keempat, aktor utama dari praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Menurut Ubed, ini bukan hanya omong kosong karena berdasarkan sisi akademik, indeks persepsi korupsi Indonesia skornya hanya 34. “Itu artinya korupsi di rezim ini merajalela. Rezim ini sudah terlalu korup,” tandasnya.

Kelima, mengabaikan prinsip dan tujuan penting bernegara. Adapun prinsip dan tujuan penting bernegara, yaitu menyejahterakan rakyat. Adapun prasyarat demokrasi berkualitas adalah proses politik harus menghentikan praktik-praktik kekuasaan yang mengabaikan rakyat kecil. 

Presiden Tutup Mata soal Netralitas

Direktur Lingkar Madani, Ray Rangkuti, awalnya mengira bahwa setelah putusan MKMK yang menyatakan pelanggaran etik berat terhadap Ketua MK, Anwar Usman, akan ditindak lanjut oleh penguasa untuk menjaga demokrasi agar tidak jatuh lebih dalam.

“Kenyataannya, meskipun MK dalam hal ini MKMK menyatakan putusan MK itu sebagi putusan yang melanggar etika berat, tidak ada kemauan untuk menjaga, memelihara, apalagi untuk meningkatkan kualitas demokrasi,” ujarnya.

Menurut Ray, bukannya menjaga demokrasi, rezim malah bersama-sama terus menerus menggerogoti prinsip-prinsip berdemokrasi sebagaimana terlihat dalam banyak peristiwa.

“Salah satu yang mengemuka sekarang adalah netralitas aparatur negara. Apakah itu TNI, Polri, ASN termasuk di dalamnya kepala-kepala desa dan aparatur kepala desa yang seolah-olah berlomba-lomba untuk menyatakan sikap [mendukung capres-cawapres tertentu],” katanya.

Ia menjelaskan, Presiden yang paling bertanggung jawab soal netralitas TNI, Polri, dan ASN. Pasalnya, dia satu-satunya yang menggunakan jasa mereka untuk kepentingan layanan publik.

“Jadi kalau aparatur negara secara terbuka kelihatan dan beramai-ramai melakukan tindakan yang tidak netral, itu bisa dinyatakan bahwa presidennya seperti tutup mata untuk mempertegas kembali sikap netralitas,” ujarnya.

Sementara itu, Presidium Indonesia, Tendry Masengi, menyampaikan, kalau anggota DPR dan para politisi mengatakan bahwa pemakzulan presiden ini sulit, biarkan para akademisi yang menilainya.

“Tapi bagi aktivis, pemakzulan itu tidak ada di ruang konstitusi, di MK, di dalam rungan, tapi pemakzulan dilakukan di jalanan [melalui aksi demonstrasi],” katanya.

Dalam acara ini, sejumlah perwakilan mahasiswa dari berbagi kampus di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur hingga Maluku Utara menyampaikan orasi menolak pelanggar HAM, dinasti politik, dan neo Orba. Para orator tersebut di antaranya dari Universitas Muhammadiyah Tangerang, Universitas Muhammadiyah Bekasi, Unas Jakarta, Universitas 17 Agustus Surabaya, Institut Pangeran Dharma Kusuma Segeran Juntinyuat Indramayu, dan Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (Malut).

129