Jakarta, Gatra.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) tengah mendalami ada tidaknya unsur tindak pidana pencucian uang (TPPU) dari kasus dugaan korupsi Proyek Pembangunan Jalur Kereta Api Besitang–Langsa pada Balai Teknik Perkeretaapian Medan Tahun 2017–2023 senilai Rp1,3 triliun.
“Terkait ada tidaknya TPPU, masih kami dalami,” kata Kuntadi, Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) Kejagung dalam konferensi pers di Kejagung, Jakarta, Jumat (19/1).
Setelah menetapkan 6 orang tersangka, Kejagung masih terus mengembangkan kasus dugaan korupsi ini sehingga tidak menutup kemungkinan jumlah tersangkanya masih akan bertambah.
“Terkait dengan apakah masih ada potensi penetapan tersangka lain, kasus ini masih bergulir, tidak tertutup kemungkinan masih terbuka adanya penetapan tersangka yang lain,” ujarnya.
Kuntadi menyampaikan, dari enam orang tersangka yang telah ditetapan, baru ada satu orang dari pihak swasta, yakni AG selaku direktur PT DYP yang juga konsultan perencanaan dan supervisi pekerjaan.
“Ada satu dari swasta saudara AG, dan masih tidak tertutup kemungkinan akan bertambah. Informasi akan berkembang,” katanya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Ketut Sumedana, menambahkan, penyidikan kasus dugaan korupsi jalur kereta api ini masih tahap awal dari penyidikan umum ke khusus.
“Baru awal juga dari penetapan tersangka. Kalau ada perkembangan tentunya kami akan sampaikan ke rekan-rekan media,” katanya.
“Akan berkembang, akan betambah. Kalau ada yang lebih tinggi kita akan gali, sabar,” ucapnya.
Kejagung menetapkan enam orang tersangka dalam kasus Dugaan Korupsi Proyek Pembangunan Jalur Kereta Api Besitang–Langsa pada Balai Teknik Perkeretaapian Medan Tahun 2017–2023 senilai Rp1,3 triliun.
Kejagung menetapkan 6 orang tersangka setelah memeriksa mereka sebagai saksi pada hari ini. “Setelah dilakukan pemeriksaan beberapa saksi dan berdasarkan alat bukti yang cukup, pada hari ini kami menetapkan 6 orang saksi sebagai tersangka,” ujarnya.
Keenam tersangkanya, lanjut Kuntadi, di antaranya NSS selaku pengguna anggaran dan kepala Bali Teknik Perkeretaapian Medan tahun 2016-2017 dan AGP selaku kuasa pengguna anggaran (KPA) proyek tersebut dan mantan kepala Balai Teknik Perkeretaapian Medan tahun 2017-2018.
“AAS dan HH, keduanya selaku PPK [Pejabat Pembuat Komitmen], RMY selaku Ketua Kelompok Kerja Pengadaan Konstruksi 2017, serta AG selaku direktur PT DYG juga selaku konsultan perencanaan dan konsultan supervisi pekerjaan,” ujarnya.
Kejagung langsung menahan keenam orang tersangka tersebut selama 20 hari ke depan mulai dari 19 Januari sampai dengan 7 Februari 2023 untuk kepentingan proses penyidikan. Tersangka AAS, RMY, dan HH ditahan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Salemba Cabang Kejagung, AG di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, dan NSS dan AGP di Rutan Salemba.
Kuntandi menjelaskan, kasus ini berawal pada periode 2017–2019. Pada tahun tersebut, Balai Teknik Perkeretaapian Medan mengadakan proyek pembangunan jalur kereta api Besitang-Langsa.
Dalam pelaksanaan pekerjaaan tersebut, lanjut Kuntadi, kuasa pengguna anggaran (KPA) telah dengan sengaja memecah proyek tersebut menjadi beberap fase sehingga pengadaan penyelenggaraan lelang dan penentuan pemenang tender dapat diarahkan dan dikendalikan.
“Selain itu, pelaksanaan proyek juga tidak mengindahkan feasibility study (FS) serta penetapan jalur trace Kementerian Perhubungan (Kemenhub),” ujarnya.
Bahkan, dalam pelaksanaan proyek ini, kepala Balai Teknik Perkeretaapian Medan telah memindahkan jalur yang semestinya yang telah ditetapkan Kemenhub ke jalur eksisting sehingga jalan yang telah dibangun saat ini mengalami kerusakan parah di beberapa titik dan tidak dapat difungsikan sebagaimana mestinya.
“Proyek ini dianggarkan oleh APBN senilai Rp1,3 triliun dan perhitungan kerugian negara saat ini masih kita lakukan, kemungkinan besar melihat kondisi jalurnya, merupakan total loss,” katanya.
Atas perbutan tersebut, Kejagung menyangka keenam orang tersebut melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.