Jakarta, Gatra.com - Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Metabolik dan Endokrinologi, dr. Ketut Suastika mengatakan bahwa diabetes dan penyakit ginjal berdampak pada kehidupan sehari-hari secara langsung.
Utamanya, kualitas hidup penderita diabetes dan penyakit ginjal akan sangat buruk. Potensi kematian dari dua penyakit ini juga cukup tinggi.
"Paling penting biaya kesehatan yang harus dikeluarkan ketika seseorang terkena Penyakit Ginjal Kronis (PGK). Seseorang akan mengalami pertambahan berat badan yang signifikan atau mengalami kegemukan dan tentunya kualitas aktivitas bersifat pasif," katanya dalam konferensi pers yang diadakan PT Bayer di Jakarta, Senin (15/1).
Hal ini secara tidak langsung berpengaruh pada kualitas ekonomi masyarakat negara Indonesia. Country Division Head Pharmaceuticals Bayer Indonesia, Jeff Lai menjelaskan bahwa 422 juta orang dewasa di dunia hidup berdampingan dengan diabetes melitus. Sekitar 40% di antaranya berpotensi menjadi pengidap PGK.
Berdasarkan data International Diabetes Foundation (IDF) tahun 2021, Indonesia menempati posisi lima terbanyak penderita diabetes di dunia, dengan jumlah 19,5 juta orang. Jumlah tersebut akan terus bertambah mengingat penyakit ini adalah penyakit progresif.
Inflamasi dan fibrosis menjadi aktor utama progresi PGK untuk pasien diabetes tipe dua. Karena kedua faktor ini menyebabkan penurunan fungsi pada ginjal yang diikuti terus dengan efek lainnya, seperti metabolik dan hemodinamik.
Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Ginjal dan Hipertensi, dr. Pringgodigdo Nugroho menjelaskan bahwa fungsi ginjal dapat dilihat lewat pemeriksaan kadar protein urin (uACR). Melalui cara ini, dapat mengklasifikasikan fungsi ginjal baik hingga buruk.
"Angka kadar akan menunjukkan >90; 60-89; 45-59; 30-44; 15-29; dan yang terburuk kurang dari 15 angka kadar protein urinnya," jelasnya.
Jika kadar protein urin seseorang kurang dari 15, sudah dipastikan mengidap gagal ginjal. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, 60% penderita gagal ginjal harus menjalani cuci darah. Hal ini akan mempengaruhi kondisi ekonomi penderitanya lantaran tarif cuci darah berkisar Rp800.000 hingga Rp1.000.000 per sesi dan belum termasuk biaya rumah sakit serta obat penunjang.
Finerenone yang diproduksi oleh PT Bayer hadir untuk menanggulangi permasalahan PGK pada diabetes tipe dua saat ini. Seperti yang dijelaskan juga oleh Head of Medical Dept. Pharmaceutical Division PT Bayer Indonesia, Dr. Dewi, Finerenone dari Bayer merupakan pengobatan obat minum inovatif yang disetujui secara global, khususnya Indonesia.
"Cara kerja obat dalam tubuh yakni dengan menghentikan peningkatan stimulasi reseptor Minerlocorticoid serta mencegah inflamasi dan fibrosis. Bahkan data menunjukkan penurunan uACR lebih cepat ketika penderita PGK dan diabetes tipe 2 melakukan terapi dengan obat Finerenone," ujarnya.
Ia menyebut bahwa Finerenone sudah tersedia di seluruh rumah sakit swasta dan apotek Indonesia. Bagi pasien pengguna BPJS, obat ini baru bisa didapatkan di tahun depan.
"Karena menyangkut kebijakan BPJS yang harus melalui proses edar obat di seluruh Indonesia selama dua tahun. Proses ini terhitung dari izin edar obat di Indonesia. Namun harga obat ini cukup terjangkau kisaran Rp20.000 hingga Rp24.000 per satu obat," jelas Dewi.
Ia juga mengatakan bahwa obat ini cukup berpengaruh pada pencegahan biaya pengobatan tingkat lanjut. Finerenone memang bukan untuk menyembuhkan, namun cukup ampuh dalam mencegah progres PGK dan diabetes tipe 2.
Untuk opsi di luar pengobatan juga bisa dengan meningkatkan kualitas hidup lewat memperbanyak aktivitas fisik, diet, dan tentunya hidup seimbang antara asupan dengan aktivitas.
Reporter: Raihan Athaya