Jakarta, Gatra.com – Founder Perqara, Yakup Hasibuan, mengatakan, hampir semua aspek di bidang hukum bisa didigitalisasi. Ia mengatakan hampir semuanya bisa karena ada juga yang tidak bisa didigitalisasi.
“Apa itu? Tentunya kalau kita ngomong litigasikan, advokat tidak bisa digantikan robot kalau untuk berperkara di pengadilan,” katanya di Jakarta pada pekan ini.
Ia menjelaskan, walaupun pembuatan dokumen hukum, gugatan, jawaban gugatan, replik, duplik, eksepsi, dan lainnya pembuatannya bisa dibantu dengan tool atau artificial intelegence (AI), namun keberadaan advokatnya tidak bisa digantikan.
Lebih lanjut Yakup menjelaskan, digitalisasi di bidang hukum ini harus dilakukan agar menghemat ruang dan bahan kertas yang kaitannya sangat panjang hingga sampai lingkungan. Contohnya, dalam suatu perkara, saat ini masih menggunakan kertas dan tidak sedikit yang dokumennya sangat tebal.
“Sering lihat eksepsi dokumennya tebal, itu baru satu perkara, banyangkan kalau ribuan perkara, semua pihak: hakmi, jaksa, dan semua penegak hukum itu sudah menumpuk karena hardcopy,” ujar dia.
Menurutnya, kalau dokumen-dokumen tersebut dalam format digital atau sudah softcopy dan tidak lagi menggunakan kertas (paperless), penegak hukum tidak harus menyerahkan tumpukan berkas atau dokumen kertas.
“Hanya tinggal e-mail-e-mail-an saja, kecuali pemeriksaan saksi. Mudah-mudahan ini jadi langkah awal [digitalisasi],” katanya.
Kendala Digitalisasi di Bidang Hukum
Masih lambatnya digitalisasi sektor hukum di Indonesia, menurut Yakup, karena belum adanya regulasi digitalisasi yang holistik, sehingga masing-masing lembaga penegak hukum berjalan sendiri-sendiri dan tidak ada kesamaan langkah.
“Mahkamah Agung punya surat edaran sendiri, oke sidang bisa dilakukan online kalau A, B, C, D, E. Polri mungkin ada Instruksi Kapolri, oke BAP bisa dilakukan secara online. Ini masih masing-masing,” ujarnya.
Suami dari artis Jessica Mila ini menyampaikan, tadinya soal digitalisasi ada di Omnibus Law klaster hukum, namun itu belum terealisasi. Berbeda halnya dengan bidang perizinan yang sudah lebih baik.
“Kalau perizinan mungkin sudah lebih baik, OSS mungkin semua orang sudah [tahu]. Dari luar negeri pun ngurus-ngurus sudah online, cuman kalau dari sisi kita di bidang litigasi, pengacara, advokasi itu masih belum diatur secara jelas,” katanya.
Ia membayangkan kalau di bidang hukum sudah menerapkan digitalisasi. Misalnya untuk hukum acara perdata, semua dokumen sudah harus dimasukkan dalam format digital dan daring sehingga akan lebih efisien.
“Kita tidak usah nunggu-nunggu jadwal sidang di pengadilan lagi, kita panggilan jam 10, sidang baru jam 4 [16.00]. Kalau bisa digital bisa diefisienkan,” ujarnya.
Segera Buat Aturan dan Ubah Budaya
Yakup menyampaikan, pihaknya mendorong pemerintah dan DPR agar bisa membuat aturan untuk mempercepat digitalisasi sektor hukum, di antaranya memasukkannya dalam ketentuan KUHAP.
“Kita mendorong dan mendukung nantinya DPR juga bisa, di RUU KUHAP yang baru, mengenai digital ini bisa masuk,” katanya.
Sedangkan ketika ditanya apakah perlu satu UU khusus yang holistik untuk mewujudkan digitalisasi di bidang hukum, putra dari advokat senior Prof. Otto Hasibuan ini menyampaikan, itu bisa memulainya dari KUHAP.
“Kalau secara UU bisa dimulai dari KUHAP dulu, Perma juga penting dari Mahkamah Agung karena yang menjadi isunya itu,” katanya.
Ia menjelaskan, regulasi ini nantinya akan mengubah budaya dan persepsi masyarakat. Misalnya, sekarang banyak orang yang masih mengganggap kalau tidak luring (offline), tidak ada surat resminya, dan tidak ada tanda tangan basah itu tidak sah. “Jadi [soal] budaya sebenarnya.”
Ia lantas mencontohkan di luar negeri atau negara-negara yang sudah maju, seperti Amerika Serikat bahwa semua formulir itu sudah pasti online atau digital serta dibubuhi tanda tangan elektronik.
“Di Indonesia, kalau surat belum masuk ke kantor dan dicap, dianggap belum sah. Ya sebenarnya budaya bersama yang perlu diubah,” ujarnya.
Regulasi ini penting dalam mengubah budaya atau kebiasaan masyarakat. Contohnya dalam pembayaran tol, karena sistemnya tidak bisa lagi tunai, maka mau tidak mau masyarakat atau pengguna tol menjadi berubah mengunakan uang elektronik atau e-money.