Jakarta, Gatra.com – Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, mengharapkan presiden dan wakil presiden Indonesia terpilih pada Pemilu 2024 nanti agar mendirikan Pengadilan Etik Nasional.
Jimly dalam dalam acara kajian konstitusi gelaran Jimly School of Law and Government (JSLG) kerja sama dengan Prodi Studi Ilmu Hukum Universitas Siber Muhammadiyah (SiberMu) secara daring, menyampaikan, lembaga tersebut untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang diduga melanggar etik untuk mengajukan upaya hukum hingga kasasi.
“Sebaiknya membuat lembaga Mahkamah Etik berskala nasonal guna melindungi orang-orang yang terkena etik ada lembaga tinggi yang dapat menyelesaikan,” kata Jimly dalam keterangan pers, Sabtu (13/1).
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dan DKPP tersebut berpendapat, pendirian lembaga peradilan etik tersebut sudah sangat mendesak. Pasalnya, banyak orang dari berbagai profesi telah dijatuhi sanksi.
“Banyak orang, apakah dari profesi hakim, pengacara, dan dokter setelah mendapatkan sanksi etik, mereka tidak bisa beroperasi lagi? Ini ada rasa kuarang adil,” ujarnya.
Jimly lantas mencontohkan soal putusan etik terhadap mantan Menteri Kesehatan (Menkes), Dr. dr. Terawan Agus Putranto yang dijatuhkan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang sempat menyedot perhatian publik.
MKEK IDI sekitar 2 tahun lalu mengeluarkan surat rekomendasi pemberhentian Terawan secara permanen dari keanggotaan IDI. Rekomendasi pemecatan Terawan diputuskan melalui Muktamar ke-31 IDI di Banda Aceh, dan kurang dari satu bulan DPP IDI melaksanakan putusan itu.
Menurutnya, Terawan tidak mendapatkan keadilan karena tidak adanya lembaga dan mekanisme bagi dia untuk mengajukan langkah hukum banding dan kasasi seperti pada perkara pidana. Sementara organisasi profesi dokter hanya ada satu.
Jimly menyampaikan, hal serupa menimpa advokat Hotman Paris Hutapea yang dijatuhi skorsing karena dinyatakan melanggar Kode Etik Advokat oleh Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) melalui Dewan Kehormatan Pusat (DKP).
Menurutnya, berbeda dengan Terawan, Hotman masih terbilang beruntung karena ada organisasi advokat lainnya yang diakui peradilan sehingga membuatnya masih bisa berpraktik setelah pindah ke organisasi sejenis.
“Ini yang menjadi keprihatinan bahwa orang yang mendapat sanksi etik namun tidak ada jalan lain unuk mencari kedailan,” katanya.
Kajian Konstitusi JSLG kerja sama dengan Prodi Ilmu Hukum Universitas SiberMu memfokuskan materi dikusi pada kajian buku karya Jimly berjudul “Perspektif Baru Tentang Rule of Law and Rule of Ethich & Constitutional Law an Constitutional Ethics”.
Semenara itu, Ketua Prodi Studi Ilmu Hukum Universitas SiberMU, Dinda Riskanita, S.H., M.H., dalam sambutannya memberikan apresiasi atas kerja sama dengan JSLG dalam kajian peradilan etik. Menurutnya, materi ini penting bukan hanya bagi mahasiswa, masyarakat juga amat penting saat adanya gradasi tentang pemaknaan etik.
“Apalagi, kajian ini memang sangat diperlukan untuk menyetarakan antara penegakan hukum dengan penegakan etika hukum untuk upaya penegakan keadilan,” katanya.
Dinda juga mengucapkan terima kasih kepada nara sumber kajian, yakni Guru Besar FH Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Prof. Dr. Aidul Fitriciada Azhari, S.H., M.H. Ia berharap, kajian konstitusi yang menyoal etika dalam penegakan keadian hukum dapat menjadi dorongan untuk memberi kesempatan kepada mereka yang terkena sanksi etik untuk melakukan kasasi ke lembaga atau pengadilan etik.