Solo, Gatra.com - Pemilihan umum merupakan pesta demokrasi bagi seluruh masyarakat Indonesia. Tak sedikit yang berminat untuk masuk dan terjun di dunia politik hingga mau berebut kursi di parlemen. Namun masih banyak pula masyarakat yang antipati atau bahkan meminimalisir keterlibatannya dalam dunia politik.
Jemaah Ahmadiyah di Soloraya misalnya. Selama ini menunjukkan sikap tak ingin terjun langsung berpolitik praktis, namun mereka menunjukkan komitmennya berperan aktif dalam pemilu dan menggunakan hak suaranya sebagai warga negara Indonesia (WNI) yang baik. Misalnya sebagai ketua RT, ketua RW bahkan pengalamannya menjadi kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS).
Salah satunya yakni Mariyoto (53) warga Colomadu, Karanganyar yang kesehariannya menjadi RT. Selama 15 tahun dirinya menjadi RT, banyak hal yang membuat dirinya terlibat dalam bidang politik. ”Paling tidak saya ditunjuk sebagai KPPS (kelompok penyelenggara pemungutan suara). Sudah sejak tahun 2014 saya selalu menjadi petugas KPPS, baik saat pemilu, pemilihan gubernur ataupun pilkada,” katanya
Namun untuk terlibat lebih jauh di dunia politik, dirinya tak menunjukkan ketertarikan. Meskipun tak jarang para anggota partai politik mendekati Mariyoto untuk menarik massa dari warga di lingkungan RT-nya. Apalagi di lingkungan-nya ada beberapa calon legislatif (caleg) yang sedang bertarung dalam Pemilu 2024 ini.
”Ada beberapa, dari PKS (Partai Keadilan Sejahtera) ada, PDI (Partai Demokrasi Indonesia) Perjuangan hingga dari PPP (Partai Persatuan Pembangunan),” katanya.
Sejauh ini Mariyoto berusaha netral dengan posisinya sebagai Ketua RT. Meskipun tak bisa dipungkiri dirinya memilih salah satu kandidat caleg karena memang memiliki kedekatan personal dengan dirinya. ”Ada yang jadi teman baik saya. Saya mendukung ya karena dia teman baik saya,” katanya.
Tak jarang, warga di lingkungan rumahnya meminta saran dan menanyakan siapa yang lebih baik dipilih dalam pemilu mendatang. Biasanya, Mariyoto memberikan penjelasan mengenai caleg-caleg karena memang menurutnya baik. Bahkan ada pula kader partai yang mendekat padanya untuk mengkampanyekan salah satu caleg.
”Tapi semua saya kembalikan lagi ke person masing-masing, kalau saya memilih orang tertentu karena memang saya dekat dengan personalnya,” ujarnya.
Berbeda dengan Mariyoto, Sugiman merupakan seorang RW di Kecamatan Polokarto, Sukoharjo. Dirinya memilih untuk langsung memberikan saran pada warganya ketika ada yang menanyakan memilih siapa dalam Pemilu mendatang. Sebab Sugiman mengenal sosok ini dengan baik dan di lingkungan RW-nya, sosok caleg tersebut sangatlah membantu kemajuan di lingkungannya.
”Bisa dikatakan kampung kami sudah menjadi binaan salah satu caleg. Kebetulan dia tetangga kami,” ujarnya.
Selama ini banyak aspirasi dari warga di kampung Sugiman yang ditampung oleh caleg tersebut. Banyak pula kebutuhan warga kampung yang dibantu oleh caleg ini. Sehingga secara otomatis saat ada yang menanyakan akan memilih siapa, Sugiman langsung memberikan nama.
”Ada pula kader partai lain atau caleg lain yang mencoba masuk. Tapi memang kami warga kampung sudah memiliki kedekatan dengan caleg tersebut. Makanya biasanya caleg lain yang mau masuk, otomatis mundur,” katanya.
Sama pula dengan Mariyoto, Sugiman juga aktif menjadi KPPS selama beberapa tahun. Namun pada pemilu kali ini, dirinya sudah tidak lagi masuk sebagai panitia pemungutan suara karena terhalang usia. ”Saya sudah 60 tahun, makanya tahun ini tidak jadi panitia. Tahun-tahun sebelumnya saya selalu aktif jadi panitia,” katanya.
Dalam aturan kepengurusan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), orang yang menjadi pengurus partai politik tidak diperkenankan menjadi pengurus di Ahmadiyah. Barulah ketika mereka tak lagi menjabat atau sudah purna tugas, mereka bisa menjadi pengurus Ahmadiyah kembali.
”Pada saat pemilihan ketua pengurus nasional JAI pun tidak ada proses kampanye di dalamnya. Kami juga tidak mengkampanyekan seseorang. Tapi kami jauh-jauh hari sebelumnya melakukan salat istikharah dan tidak ada kampanye atau penyampaian visi dan misi. Barulah saat pemilihan pengurus, kami menuliskan pilihan kami masing-masing,” kata Mubaligh JAI Solo Muhaimin Khoirul Amin.
Kendati demikian, Muhaimin menekankan bahwa selama ini jemaah Ahmadiyah selalu menggunakan hak suaranya dalam Pemilu. Mereka berupaya menjadi warga negara yang baik dengan memilih pemimpin dan menggunakan hak suaranya. ”Selama ini kami selalu nyoblos, nggak pernah kami golput. Kami selalu berusaha menjadi warga negara yang baik,” katanya.
Selain mereka aktif dan tak pernah absen nyoblos, sekretariat JAI Solo beberapa kali menjadi tempat pemungutan suara (TPS). Lokasinya yang strategis menjadikan pemerintah kelurahan setempat menggunakan lokasi ini untuk TPS.
”Dan kami selalu senang bisa membantu. Bahkan di depan kantor sekretariat ini lapangan voli, biasanya selalu digunakan warga sekitar untuk bermain dan sering juga dipakai ibu-ibu untuk senam pagi,” katanya.
Di sisi lain, tak hanya anggota JAI memilih untuk meminimalisir politik praktis, tak banyak pula partai politik yang menjadikan jemaah Ahmadiyah sebagai sasaran kampanye secara khusus. Politikus dari PKS Sugeng Riyanto misalnya, ia mengatakan selama ini tidak pernah bertemu dengan anggota maupun jemaat Ahmadiyah saat berkampanye ataupun menyerap aspirasi ke konstituen yang biasa disebut reses.
Pria yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD ini bahkan tidak tahu-menahu keberadaaan pusatnya Ahmadiyah di Solo. ”Dalam ruang politik, nyaris tidak pernah bersinggungan. Tapi saya enggak tahu kalau di tempat lain, ini yang saya alami di Solo. Kalau di Solo belum pernah, bahkan itu dia, kita tidak tahu siapa orangnya. Interaksi sosial pun saya tidak pernah, apalagi interaksi politik,” katanya.
Namun menurut Sugeng, sejauh ini PKS berusaha untuk tidak terlalu saklek dengan warna partainya. Sebab banyak pula caleg PKS di Papua yang beragama Nasrani. Sehingga kampanye pada golongan atau agama apapun dilakukan.
”Secara mahdzab mungkin berbeda, tapi sejauh ini PKS mencoba untuk tidak saklek-saklek amat. Misalnya di Papua, ada caleg PKS yang Nasrani, ini kan beda agama, bukan lagi beda warna dalam Islam,” katanya.
Begitupun dengan Ahmadiyah, sejauh ini Sugeng melihat tidak ada tendensi khusus yang mengharuskan mereka memilih atau tidak memilih karena kelompok tertentu. Melihat cerita dari Mariyoto dan Sugiman tersebut, keduanya menjadi pimpinan di lingkungannya. Artinya selama ini mereka melakukan sosialisasi dengan baik di masyarakat.
”Sehingga bisa disimpulkan, ketika mereka bersosialisasi dengan baik di masyarakat, masyarakat dapat menerima dengan baik siapapun mereka. Apalagi mereka merupakan pimpinan yang baik di lingkungannya,” katanya.
Di sisi lain, politikus lainnya menganggap sosialisasi atau kampanye ke masyarakat bisa lebih luwes dilakukan. Seperti halnya yang dilakukan oleh Politikus PDI Perjuangan YF Sukasno. Sejauh ini, dirinya melakukan kampanye dan menampung aspirasi warga masyarakat tanpa memandang warna agama tertentu.
”Kita kalau mengadakan kaderisasi tidak berbasis pada keyakinan. Peserta yang mau mengikuti kaderisasi di partai kami, semua kita rangkul,” kata Ketua Komisi III DPRD Kota Solo ini.
Selama ini dirinya tidak pernah memiliki hambatan dalam berkampanye. Bahkan pria yang akrab disapa Kasno ini, sering mengikuti kegiatan pengajian, salawatan dan berbagai kegiatan keagamaan muslim lainnya. Meskipun dirinya selama ini beragama nasrani.
”Bahkan saya ikut salawatan di atas panggung, belum pernah diperingatkan. Bahkan malah seringnya diundang pengajian di kampung,” katanya.
Tapi sejauh ini dirinya belum pernah bersinggungan langsung atau secara khusus dalam urusan politik dengan kelompok Ahmadiyah. Meskipun dirinya mengenal secara personal pimpinan Ahmadiyah di Solo. ”Saya kenal secara kolega, pertemanan saja. Kalau urusan politik belum pernah. Mereka tahu saya anggota dewan. Obrolannya pun juga hanya politik secara umum saja,” katanya.
Sejauh ini, Kasno melihat Ahmadiyah di Solo juga bukan menjadi persoalan. Sebab mereka bersosialisasi dengan baik di masyarakat. ”Bahkan setahu saya, tidak pernah ada kasus persekusi terhadap kelompok Ahmadiyah selama ini. Setahu saya belum pernah ada,” katanya.
Terkait pendidikan politik pada kelompok yang termarginalkan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Solo hingga saat ini sudah berusaha melakukan sosialisasi. Namun keterbatasan komunikasi dan jangkauan yang menyebabkan mereka belum bisa mengakses secara spesifik kelompok-kelompok tertentu.
Sejauh ini KPU Kota Solo telah melakukan sosialisasi pada kelompok disabilitas di Kota Solo. Namun untuk kelompok seperti Ahmadiyah hingga saat ini belum pernah dilakukan.
”Kami belum sampai mendetail seperti ke Ahmadiyah secara khusus. Sejauh ini yang sudah tersasar baru kelompok disabilitas,” kata Komisioner KPU Kota Solo Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemillih, Partisipasi Masyarakat dan SDM Yuly Yulianingrum.
Namun sejauh ini KPU Kota Solo mendorong masyarakat untuk berperan aktif dalam pendidikan politik. Tidak hanya KPU yang mendatangi dan melakukan sosialisasi, namun mereka bisa mendatangi KPU untuk menanyakan lebih lanjut terkait Pemilu 2024 ini.
”Jadi sebenarnya mereka bisa datang ke kami untuk berperan aktif juga. Tapi sejauh ini memang belum ada sama sekali informasi terkait Ahmadiyah yang masuk ke KPU,” katanya.
Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan mengatakan, selama ini minat politk Ahmadiyah rendah karena mereka memitigasi tingkat kerentanannya. Sebab mereka menyadari bahwa mereka minoritas, baik secara numerikal maupun secara politikal mereka lemah.
”Inilah yang mempengaruhi derajat kerentanan mereka sebagai minoritas. Jadi kalau mereka berada di fase masuk ke politik atau pencalonan yang membuat mereka membuka identitasnya sebagai warga Ahmadiyah, mereka akan sangat menimbang itu. Sebab kalau identitas mereka terbuka, akan menambah kerentanannya,” katanya.
Apalagi disadari bahwa politik di Indonesia, baik politik formal maupun politik elektoral sama-sama memiliki rumusan siapa mendapat apa. Ahmadiyah yang jumlahnya tidak banyak ini, jika dibandingkan dengan mayoritas, mereka tidak menarik untuk politisi. Selain itu dari sisi kalkulasi mereka juga memilih untuk tidak menambah kerentanan dengan masuk ke dalam dunia perpolitikan.
”Mereka ini tidak menarik untuk politisi maupun parpol. Sehingga parpol cenderung tidak melibatkan mereka,” katanya.
Lebih lanjut Halili menjelaskan bahwa Ahmadiyah ini bukan kelompok yang ekstrem dan tertutup. Tidak seperti yang dibayangkan, mereka lebih inklusif. Ketika mereka dihadapkan dengan partai, maka mereka cenderung lebih memilih partai-partai non religius atau bisa dikatakan partai nasionalis.
”Kenapa mereka memilih partai nasionalis, karena selama ini isu minoritas cenderung bekerja dalam rangka kebhinekaan. Kalau dalam rangka kebhinekaan yang situasinya lebih baik, maka perlindungan terhadap minoritas juga baik,” ujarnya.
Sebaliknya, jika kondisi kebhinekaan buruk, maka kelompok minoritas justru yang paling rentan. Maka kerangka kerja kebhinekaan ini yang akan menentukan. Sehingga sangat dimungkinkan jika Ahmadiyah ini cenderung memilih partai-partai yang sifatnya nasionalis.
”Partai-partai agama itu tidak terlalu memberikan harapan atas kebebasan beragama mereka. Partai nasionalislah yang biasa melanjutkan mengenai kebhinekaan,” katanya.
Namun dari sisi interaksi, Ahmadiyah selama ini tidak pernah menimbang antara partai nasionalis maupun partai religi. Sebab mereka hanya berfokus pada apa yang menjadi pilihannya. Selama ini mereka dapat menjangkau pertemanan dengan siapapun dan membangun pertemanan dengan organisasi apapun, termasuk organisasi keagamaan lain.
”Belakangan mereka lebih memperkuat pertemanan dengan entitas-entitas, organisasi-organisasi di luar Ahmadiyah, di luar kerangka organisasi, mereka tidak menggantungkan interaksi ini pada keterlibatannya dalam partai politik. Ahmadiyah ini juga punya semboyan berbeda dengan yang lain, love for all hate for none,” katanya.