Jakarta, Gatra.com - Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial, LSJ FH UGM, Herlambang P. Wiratraman mengatakan, berkaca pada tahun 2023, ada beberapa masalah yang belum terselesaikan dan menjadi ancaman untuk penegakan hukum, hak asasi manusia (HAM), dan demokrasi pada tahun 2024 nanti.
Sepanjang tahun 2023, terjadi keberulangan masalah yang menimpa masyarakat atau pihak-pihak yang kritis terhadap pemerintah. Penggunaan UU ITE menjadi salah satu catatan penting yang patut diwaspadai.
“Dalam catatan Safenet sendiri, sepanjang Januari-Oktober 2023 setidaknya ada 89 kasus kriminalisasi dengan menggunakan pasal-pasal yang bermasalah dalam UU ITE,” ucap Herlambang P. Wiratraman dalam diskusi daring Bulaksumur Legal Outlook 2024: Negara Hukum, HAM, dan Demokrasi Indonesia yang diadakan melalui Zoom pada Jumat (29/12).
Herlambang sendiri mengaku tidak terkejut dengan angka ini. Ia menilai, kriminalisasi berbasis digital sudah menjadi alat politik baru yang menambah untuk menarik masyarakat kritis ke proses peradilan yang berujung pemenjaraan.
Herlambang mengatakan, revisi kedua UU ITE pun tidak memberikan perubahan yang signifikan. Pasalnya, aturan-aturan yang dinilai bermasalah justru masih tetap dipertahankan, yaitu pasal 27 a dan pasal 28 ayat 1.
“Pasal 27 a berkaitan dengan cyber defamation atau menyerang kehormatan, nama baik orang lain. dan pasal 28 ayat 1 itu berkaitan dengan pemberitahuan bohong atau informasi yang menyesatkan,” jelas Herlambang.
Pengesahan revisi UU ITE dinilai menambah kekhawatiran masyarakat yang sudah mempertanyakan keseriusan Pemerintah untuk menghentikan pembungkaman kebebasan sipil di Indonesia.
“Sebenarnya, bukan hal yang mengejutkan di masa pemerintahan Jokowi, rupanya Jokowi memang tidak cukup memperlihatkan komitmen yang kuat terkait pembentukan hukum yang menguatkan partisipasi,” kata Herlambang lagi.
Sejumlah kasus kriminalisasi yang menjadi perhatian adalah kasus Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti yang saat ini menunggu vonis pengadilan karena dinilai bersalah dan telah mencemarkan nama baik Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan karena video podcast yang judulnya mengandung frasa “Lord Luhut”.
Begitupun dengan pernyataan-pernyataan Rocky Gerung yang masih diproses oleh pihak kepolisian.
Herlambang menegaskan, kasus-kasus ini tidak sepatutnya terjadi karena negara demokratis memerlukan kritik untuk memperkuat proses demokratisasi.
Ia melanjutkan, represi-represi yang dihadapi masyarakat saat ini akan menjadi momentum di tahun politik 2024. Herlambang mengatakan, respons dari para pasangan calon akan menjadi penting untuk mengubah sistem yang ada.
“Sejauh mana para capres itu berani atau punya komitmen untuk mengubah arsitektur kekuasaan yang masih mengakar dalam dominasi oligarki,” jelaskan.
Selain mengubah konstelasi pemanfaatan hukum untuk menopang kekuasaan dan relasi antara pemerintah dan oligarki, masyarakat juga perlu meminta pertanggungjawaban pemerintah untuk menghentikan politik manipulasi yang mengganggu kebebasan sipil.
“(Ini) bukan saja marak menjelang Pemilu melainkan pula terus menerus mereproduksi diri untuk pelanggengan rezim yang berkuasa,” jelas Herlambang lagi.