Jakarta, Gatra.com – Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia menyampaikan catatan akhir tahun 2023. Lemahnya political will dari pemerintah dan DPR merupakan faktor penghambat utama pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat.
“Penilaian APHA Indonesia, salah satu faktor utama penghambat penyelesaian RUU Masyarakat Adat adalah lemahnya political will pemerintah dan DPR,” kata Prof. Laksanto Utomo, S.H., M.H., Ketua Umum (Ketum) APHA Indonesia pada Selasa (26/12).
Prof. Laksanto menjelaskan, RUU Masyarakat Adat sudah berkali-kali masuk atau menjadi langganan program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas. Bahkan, pada periode pertama Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Surat Presiden percepatan pengesahan RUU Masyarakat Adat.
“Namun realitasnya, hingga Presiden Joko Widodo akan menyelesaikan jabatan pada periode kedua pada Oktober 2024, RUU Masyarakat Adat tidak kunjung selesai,” katanya.
APHA Indonesia menilai tak kunjung disahkannya RUU Masyarakat Adat adalah sebuah ironi di negara yang berideologi Pancasila, negara hukum, dan negara yang katanya menjunjung-tinggi hak asasi manusia (HAM).
“Kuat dugaan, tidak kunjung selesainya RUU Masyarakat Adat merupakan indikasi yang tidak terbantahkan bahwa RUU Masyarakat Adat ini dinilai tidak penting dan tidak urgent oleh Pemerintah dan DPR,” katanya.
Nampaknya, lanjut Prof. Laksanto, mindset dan pemahaman pemerintah dan DPR mengenai masyarakat adat, keberadaan masyarakat adat, hak-hak masyarakat adat, dan kondisi masyarakat adat saat ini perlu direformasi (di-update).
Menurutnya, Ini penting agar pemerintah dan DPR betul-betul jernih dan menggunakan hati nurani terdalam dalam memandang keberadaan masyarakat adat dengan semua aspeknya sebagai bagian dari rakyat Indonesia yang harus dilindungi oleh pemerintah dan negara, terlepas dari berbagai kepentingan lain yang berkelindan dalam isu ini.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) APHA Indonesia, Dr. Ning Adiasih, S.H., M.H., menyampaikan, RUU Masyarakat Adat adalah salah satu RUU yang dimaksudkan untuk melindungi masyarakat adat dan hak-haknya sebagai implementasi dari Pasal 18B Ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal tersebut, lanjut Ning, menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat menurut hukum adat dan hak-hak tradisionalnya selama masih hidup dan sesuai dengan perkembangan zaman, komunitas, dan prinsip-prinsip Persatuan Negara Republik Indonesia menurut hukum”.
“Upaya APHA Indonesia dalam mendorong penyelesaian RUU Masyarakat Adat dan disahkan menjadi UU Masyarakat Adat telah dimulai sejak berdiri pada tahun 2017,” katanya.
Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Badan Legislasi DPR, audiensi dengan ketua Panja RUU Masyarakat Adat, pimpinan DPD RI, Kantor Staf Presiden (KSP) hingga Dewan Pertimbangan Presiden telah dilakukan APHA Indonesia.
“Intinya, APHA Indonesia meminta Pemerintah dan DPR untuk serius dalam menyelesaikan RUU Masyarakat Adat,“ katanya.
Ning mengungkapkan, APHA Indonesia menilai salah satu faktor utama penghambat penyelesaian dan pengesahan RUU Masyarakat Adat adalah lemahnya kemauan poitik (political will) Pemerintah dan DPR. Pasalnya, political will dari Pemerintah dan DPR ini sangat menentukan dalam menyelesaikan dan mengesahkan RUU Masyarakat Adat menjadi UU Masyarakat Adat.
“Pengesahan RUU Masyarakat Adat ini diyakini akan menjadi berkah luar biasa bagi masyarakat adat,” ujarnya.
UU Masyarakat Adat menjadikan mereka memperoleh pengakuan dan penghormatan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari saudara sebangsa dan se-Tanah Air yang hidup di Bumi Nusantara, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebab sejak Indonesia merdeka hingga saat ini, keberadaan masyarakat adat belum diakui oleh pemerintah dan negara.
Konkretnya, pengesahan RUU Masyarakat Adat sangat penting, antara lain agar masyarakat adat diakui sebagai warga negara Indonesia yang setara dengan warga negara lainnya. Artinya, dengan diakui sebagai warga negara Indonesia, maka masyarakat adat memperoleh perlindungan hukum agar dapat hidup dengan aman, tumbuh dan berkembang sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaannya, serta bebas dari segala bentuk diskriminasi dan kekerasan seperti selama ini sering mereka alami.
“Selain itu, RUU Masyarakat Adat ini menjadi dasar bagi pemerintah dan negara untuk mengembalikan dan memulihkan hak-hak masyarakat adat yang selama ini terabaikan,” katanya.
APHA Indonesia menilai kebutuhan terhadap UU Masyarakat Adat ini sudah sangat mendesak agar masyarakat adat memperoleh pengakuan dan penghormatan, sehingga mereka betul-betul memperoleh perlindungan dan terpenuhi hak-haknya sebagai warga negara Indonesia.
“Tidak ada kata lain, keberadaan masyarakat adat dan hak-haknya wajib dilindungi, diakui, dan dihormati,” katanya.
Bertolak dari pemikiran di atas, APHA Indonesia mendesak pemerintah dan DPR untuk serius memperkuat political will dan bersinergi menyelesaikan RUU Masyarakat Adat. Masih ada waktu di sisa masa akhir jabatan Presiden dan DPR saat ini untuk menyelesaikan RUU Masyarakakat Adat.
APHA Indonesia melalui catatan akhir tahun 2023, meminta Pemerintah dan DPR untuk berkontemplasi, menyadari, dan memperkuat political will agar betul-betul serius untuk menyelesaikan dan mengesahkan RUU Masyarakat Adat dipenghujung masa jabatan Presiden dan DPR pada 2024.
“Gunakanlah jabatanmu hanya untuk menebarkan kebaikan, kasih, dan kemaslahatan bagi sesama makluk hidup dan alam semesta,” katanya.