Jakarta, Gatra.com – Pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden nomor urut 03, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, menjadikan KTP Sakti sebagai senjatanya untuk menawarkan solusi terkait bantuan sosial (bansos) selama kampanye menjelang Pilpres 2024.
KTP Sakti merupakan program Satu Kartu Terpadu. Artinya, ia memadukan program-program bansos yang sudah ada sebelumnya. Itu termasuk Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Prakerja, hingga Kredit Usaha Rakyat (KUR). Tujuannya adalah agar program bansos lebih tepat sasaran.
“Jaminan-jaminan selama ini ada dengan berbagai identitas satu-persatu, nanti bisa kita satukan dalam satu KTP dan kita sebut itu KTP Sakti,” ujar Ganjar beberapa waktu lalu seperti dilansir Antara.
Menanggapi ini, pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, mengatakan bahwa kebijakan KTP Sakti sangat mungkin dilakukan karena sudah ada Peraturan Presiden (Perpres) 39 No. 2019 tentang Satu Data Indonesia (SDI).
“Perpres sudah ada, tinggal disempurnakan saja. E-KTP yang betul memang bisa dipakai untuk apa saja, karena itu kan ada RFID-nya,” kata Agus.
Namun, kata Agus, perlu diperhatikan apakah RFID (Radio Frequency Identification) tersebut bisa terbaca atau tidak, karena banyak kasus E-KTP dibuat asal-asalan. “Dicek apa semua E-KTP, RFID sudah jalan atau belum karena banyak yang tidak bisa digunakan itu saja. Kalau itu sudah jalan tidak masalah,” imbuhnya.
Tidak hanya itu, Agus juga mewanti-wanti soal data. Ada beberapa versi data, misalnya data Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS), data Kementerian Sosial (Kemensos) maupun Satu Data Indonesia. Menurutnya, data yang semrawut harus segera diselesaikan jika ingin menjadikan KTP Sakti betul-betul sakti.
“Nah berani enggak presiden yang baru menggunakan itu [SDI] supaya orang mau apa-apa pakai KTP,“ sebut Agus.
Sementara itu, Kepala Pusat Riset Kependudukan (PRK) BRIN, Nawawi, menilai pengintegrasian data penerima bantuan sosial (bansos) dan data kependudukan (NIK) sebagai hal yang layak dilakukan meski ia tidak menampik bahwa implementasi program ini perlu upaya yang besar pula.
“Single data on population sudah lama selalu diwacanakan tapi untuk implementasinya tidak mudah. Kita punya data DTKS Kemensos yang cukup representatif, tapi praktiknya hanya bisa diakses pusat,” terang Nawawi.
Nawawi menilai ide tersebut akan lebih menjamin bansos tepat sasaran. Dengan demikian, data yang terintegrasi itu meminimalisir penyelewengan di lapangan. Selain itu, data yang terintegrasi juga punya manfaat lain di luar terkait bansos.
"Data terintegrasi juga penting untuk fokus pada target sasaran pelaksanaan program pemerintah. Data kependudukan terintegrasi seharusnya bukan hanya untuk bansos, tapi menyeluru, termasuk kebutuhan untuk penyelenggaraan pendidikan dan training, kesehatan, ekonomi, dan lain-lain,” tambah Nawawi.
Kendati demikian, Nawawi tidak menampik bahwa program tersebut akan mendapati tantangan dari sisi implementasi. Menurutnya, tantangan itu berupa upaya tak main-main untuk mengintegrasikan NIK, termasuk sistem dan maintenance-nya.
Nawawi mewanti-wanti agar data terintegrasi tidak hanya bisa diakses oleh pemerintah pusat, melainkan pula pemerintah daerah. “Terpenting, data tersebut bisa diakses oleh pemerintah di daerah. Sehingga pelaksanaan program kebijakan di daerah juga mengacu ke single data tersebut,”