Jakarta, Gatra.com – Ketua Harian DPN Peradi, R. Dwiyanto Prihartono, mengatakan, Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) merupakan satu-satunya orgnisasasi advokat (OA) yang diundang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadiri dan berpartisipasi dalam Peringatan Hari Antikorupsi se-Dunia (Hakordia) 2023.
“Peradi adalah organisasi advokat satu-satunya yang diundang secara resmi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi untuk turut serta dalam satu acara besar yang dilaksanakan, yaitu Peringatan Hari Antikorupsi se-Dunia,” ujarnya pada akhir pekan ini.
Advokat senior yang karib disapa Dwi ini menyampaikan, DPN Peradi senang dan menyambut baik kegiatan yang dihelat KPK dan dibuka langsung oleh Presiden Republik Indonesia (RI), Joko Widodo (Jokowi).
“Kita berpartisipasi, saya lihat banyak BUMN, pemerintah, juga satu-satunya organisasi advokat adalah Peradi,” ujarnya.
Soal Peradi satu-satunya organisasi advokat yang diundang dalam ajang tersebut, Dwi menduga KPK paham betul bahwa Undang-Undang Advokat menganut sistem single bar atau wadah tunggal organisasi advokat.
“Peradi lahir karena UU Advokat, maka dia tahu siapa yang harus diundang, pikirannya enggak sembarangan, fokus dia,” katanya.
DPN Peradi, lanjut Dwi, tentunya sangat menyambut baik karena advokat juga merupakan penegak hukum yang setara dengan penegak hukum lainnya dilibatkan untuk mencegah dan memberantas korupsi.
“Harus berpartisipasi [cegah dan berantas korupsi]. Kita berpartipasi secara penuh di tanggal 12 dan 13, kita menginformasikan kegiatan apa saja yang kita ikut terlibat dalam upaya melakukan pemberantasan korupsi,” ujarnya.
Adapun bentuk partisipasi DPN Peradi dalam Hakordia 2023, mendirikan booth DPN Peradi yang merupakan kegiatan dari bidang Kerjasama Antarlembaga untuk menyosialisasikan Peradi kepada masyarakat sebagai organisasi advokat berdasarkan UU Advokat No. 18 Tahun 2003 yang memiliki banyak kegiatan. Selain itu, Peradi mengirim ahli untuk memberikan masukan kepada KPK guna menyamakan pandangan dalam pemberantasan korupsi.
“Salah satunya KPK secara resmi telah meminta Peradi yang diwakili Pak Adardam [Achyar, Ketua Dewan Kehormatan Pusat Peradi] untuk mendiskusikan hal-hal krusial,” katanya.
Salah satu hal penting untuk proses perkembangan upaya pemberantasan korupsi, antara lain contohnya adalah bagaimana advokat berperan dalam mencegah dan memberantas korupsi.
“Diskusi yang diadakan adalah sampai sejauh mana advokat melaksanakan kegiatan-kegiatan yang dianggap tidak melanggar hukum dan diskusinya di sana [KPK],” katanya.
Ia mengungkapkan, Peradi yang diwakili Adardam Achyar sudah beberapa kali berdiskusi dengan penyidik-penyidik dan pejabat KPK untuk membahas soal kedudukannya advokat dan hubungannya dengan para pihak yang terkait dengan perkara korupsi dan sampai di mana batasan-batasan itu.
“Pekembangan yang penting juga bahwa di beberapa kasus tindak pidana korupsi yang sedang berproses di pengadilan, Peradi di bawah pimpinan Prof. Otto ini, yang cenderung diminta untuk hadir sebagai [saksi] ahli,” ujarnya.
Peradi diminta sebagai ahli khususnya mengenai perkara dugaan korupsi yang diduga melibatkan advokat. Baru-baru ini Adardam Achyar memberikan keterangan sebagi saksi ahli dalam persidangan perkara dugaan korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Senada dengan Dwi, Adardam Achyar menyampaikan, KPK mengundang dan melibatkan Peradi karena KPK konsisten melihat aturan UU Advokat bahwa hanya ada satu organisasi advokat. KPK menaati perintah UU tersebut.
“Kami menyampaikan terima kasih kepada KPK, karena mampu melihat dan mengimplementasikan UU Advokat secara normatif yuridis. Jadi tidak pakai tafsir-tafsir lain,” ujarnya.
Peradi sebagai Saksi Ahli
Sedangkan mengenai pemberian keterangan sebagai saksi ahli di persidangan, Adardam menyampaikan kepada majelis hakim bahwa kehadiran advokat, atau penasihat hukum, atau kuasa hukum dalam konteks penegak hukum harus berperan dalam penegakan hukum dan keadilan.
“Kami dipanggil sebagai ahli ini berkaitan ada rekan advokat yang menjadi terdakwa ketika dalam menjalankan profesi advokat. Dalam hal ini, Pasal 16 UU Advokat itu mengatakat bahwa advokat tidak dapat dituntut secara perdata atau pidana dalam menjalankan profesinya dengan itikad baik,” katanya.
Persoalannya adalah, lanjut Adardam, UU Advokat tidak memuat secara jelas itikad baik itu apa ukurannya, sehingga tentang itikad baik advokat ini diserahkan kepada Dewan Kehormatan Peradi untuk menilainnya.
“Berdasarkan Pasal 26 UU Advokat, yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pelanggaran kode etik adalah Dewan Kehormatan Advokat, dalam arti Dewan Kehormatan Peradi,” katanya.
Melalui ketentuan tersebut majelis hakim tidak pada posisi dan tidak mempunyai kewenangan untuk menilai hal tersebut. KPK menyadari hal tersebut. Oleh karena itu, KPK minta dihadirkan di muka persidangan untuk bisa menjelaskan bagaimana imunitas advokat ini dalam prospektif UU Advokat dengan catatan tetap tidak mengurangi seluruh kewenangan yang dimiliki penyidik dan penuntut umum KPK.
“Jadi kami hanya mejelaskan dalam praktik bagaimana bentuk-bentuk dan sifat-sifat prilaku advokat, perbutan advokat yang dilindungi oleh hak imunitas dan ini sifatnya kasuistis, tidak ada rumusan yang baku,” katanya.
Adardam menyampaikan, satu sisi penyidik dan penuntut umum mempunyai kewenangan, namun di lain sisi, advokat juga mempunyai imunitas dalam menjalankan profesinya.
“Ini jangan sampai ada benturan hukum sehingga masing-masing pihak harus secara terbuka menghargai, penyidik menghargai kewenangannya tapi juga harus dihargai kewenangan advokat sebagai penegak hukum,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa advokat tidak kebal hukum. Advokat itu hanya mempunyai kekebalan apabila perbuatan atau prilakunya dalam menjalankan tugas profesinya itu dilakukan dengan itikad baik. Misalnya, ini banyak terkait dengan masalah tindak pidana korupsi, misalnya perintangan atau merintangi penyidikan.
“Banyak teman-teman penyidik dalam perkara korupsi menganggap kehadiran advokat memberikan advokasi, nasihat hukum, pendapat hukum, ketika itu menyulitkan penyidik dalam menjalankan kewenangan, mereka anggap itu merintang,” katanya.
Padahal, lanjut Adardam, yang dilakukan advokat itu masih dalam batas-batas kewajiban etik yang harus dia lakukan, misalnya menyangkut rahasia. Advokat itu mempunyai dua hal penting. Pertama, berhak atas kerahasiaannya dengan kliennya dan kedua; berhak menyimpan rahasia kliennya.
“Kebanyakan ketika penyidik, advokat mengatakan saya tidak bisa mengatakan itu, mereka [penyidik/JPU] anggap menghalang-halangi penyidikan. Padahal itu di bawah sumpah, advokat itu harus menyimpan rahasia kliennya, baik si klien masih jadi kliennya atau tidak,” ujarnya.
Kemudian soal penyitaan dokumen, kata Adardam, UU Advokat mengatur bahwa seluruh dokumen yang ada di tangan advokat tidak dapat disita. Sedangkan di dalam KUHP, penyidik mempunyai kewenangan upaya paksa. “Ini yang perlu dikomunikasikan,” katanya.
Adardam menjelaskan, untuk menyamakan pandangan tersebut DPN Peradi di bawah Ketum Prof. Otto Hasibuan terus berkoordinasi dengan pihak KPK untuk mengetahui batasan kewenangan antara penyidik dan JPU dengan advokat.
“Kami berharap penegak hukum dapat meningkatkan pemahaman dan penghargaannya kepada hak-hak dan kewenangan profesi advokat supaya sama-sama maju, jangan hanya penyidikan saja yang maju tanpa melindungi hak-hak asasi saksi atau tersangka,” katanya.
Penegakan hukum ini bicara keadilan dan keadilan itu bukan hanya milik daripada penuntut umum, tetapi milik siapa pun, termasuk seorang tersangka pembunuh pun tetap berhak untuk mendapat itu.
Lebih jauh Adardam menjelaskan, kalau ada advokat diduga melakukan perintangan penyidikan atau penuntutan suatu perkara, penyidik atau JPU harus terlebih dahulu meminta pendapat dari organisi advokat.
“Apakah prilaku perbuatan dia [advokat] itu secara etik, secara kepentingan pembelaan profesi advokat termasuk yang harus dia lakukan [atau tidak]. Jadi kasuistis,” katanya.
Ia lantas memberikan contoh karena perbuatan advokat tersebut kasuistis atau tidak bisa disamaratakan. Misalnya, ami-amit ada advokat terkait narkoba, berarti kan tidak dalam rangka menjalankan profesi, itu tidak perlu minta pendapat ke Dewan Kehormatan Peradi.
“Misalnya advokat kena OTT, artinya memberikan suap itu bukan dari bagian menjalankan profesi advokat. Sehingga tidak perlu meminta pendapat dari Dewan Kehormatan. Langsung saja proses,” ujarnya.
Meski demikian, kata dia, walaupun demikian, organisasi akan memberikan bantuan hukum secara proporsional. “Tetapi itu tidak masuk dalam wilayah perdebatan imunitas,” katanya.