Gaza, Gatra.com – Serangan militer Israel ke wilayah Gaza, Palestina, sudah berlangsung lebih dari dua bulan. Hal ini disebut sebagai serangan balasan (retaliasi) atas serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023 lalu.
Al-Jazeera pada Jumat (8/12/2023) mencatat bahwa korban jiwa dari Gaza sudah mencapai 17.177 orang, termasuk 7.112 anak-anak. Jumlah tersebut diyakini sudah termasuk para pejuang Hamas dan warga sipil Palestina yang gugur.
Namun, melansir laporan The Times of Israel pada Selasa (5/12/2023), militer Israel baru sukses menumpas sebanyak 5.000-an pejuang Hamas saja. Padahal, petinggi-petinggi Israel telah berulang kali mengatakan bahwa mereka menargetkan serangan mereka kepada Hamas, dan bukan warga sipil Palestina.
“Jumlah itu kurang lebih benar,” kata seorang pejabat tinggi Israel yang tidak diketahui namanya.
Lebih lanjut, pejabat tinggi militer Israel lainnya mengatakan, Israel telah menggunakan perangkat lunak pemetaan (mapping software) berteknologi tinggi untuk mengurangi angka korban jiwa non-kombatan.
Dengan penggunaan teknologi ini, petinggi Israel percaya bahwa untuk satu pejuang Hamas yang gugur, mereka juga membunuh dua orang warga sipil di Gaza. Dengan demikian, rasionya adalah dua berbanding satu.
“Saya tidak mengatakan bahwa rasio dua berbanding satu ini buruk. Kami berharap rasionya akan lebih rendah,” kata seorang pejabat tinggi Israel lainnya yang menuduh Hamas menggunakan warga sipil Palestina sebagai tameng.
Sebelumnya, pejabat tinggi Amerika Serikat sempat mendorong Israel agar berusaha mengurangi korban sipil dari pihak Palestina. Meski mengakui hak Israel untuk mempertahankan diri, Wakil Presiden AS, Kamala Harris, menekan Israel perihal ini.
“Terlalu banyak warga Palestina tidak berdosa dibunuh,” ujar Harris, seperti dilansir VOA pada Sabtu (2/12/2023) lalu.
Menteri Pertahanan AS, Lloyd Austin, juga mendorong hal serupa. Ia sempat memperingatkan Israel bahwa apabila negara itu tidak ada niat mengurangi jumlah korban sipil, maka itu hanya akan memperkuat radikalisasi warga Gaza.
“Dalam pertempuran semacam ini, pusat gravitasi ada di populasi masyarakat sipil. Jika Anda mendorong mereka untuk bergerak dan mempersenjatai diri sendiri, maka yang Anda dapatkan adalah kekalahan strategis, bukan kemenangan taktikal,” kata Lloyd.
Baru-baru ini, AS menggunakan hak veto di dalam Sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk memvoting resolusi gencatan senjata. Langkah ini menuai kecaman dari seluruh dunia.
Perwakilan AS untuk PBB, Robert Wood, mengatakan bahwa keputusan gencatan senjata tidak seimbang. “Ini merupakan resolusi tidak seimbang yang terlepas dari realita yang tidak akan mampu memberikan kemajuan nyata,” katanya.
Di sisi lain, Hamas menanggapi dengan keras veto AS tersebut. “Kami menilai kabinet AS sebagai kaki tangan dalam pembunuhan rakyat kami melalui dukungan politik dan militernya kepada pasukan pendudukan [Israel] untuk melanjutkan perang genosida di Jalur Gaza,” kata mereka seperti dilansir TIME Magazine.
Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, pun ikut berang. Ia menuduh AS ikut terlibat dalam kejahatan perang terhadap warga Palestina. Dengan demikian, ia menuduh AS harus bertanggung jawab atas tumpah darah di tanah Palestina.
“Presiden Abbas mendeskripsikan posisi Amerika sebagai pihak yang agresif dan amoral, pelanggaran prinsip dan nilai humaniter yang terang-terangan. Presiden meminta pertanggungjawaban AS atas pertumpahan darah para anak-anak, perempuan, dan orang lanjut usia Palestina di Jalur Gaza,” bunyi pernyataan Presiden Abbas.