Jakarta, Gatra.com – Puluhan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta (FH UBH) Padang melakukan kuliah lapangan ke DPN Peradi di bawah Ketua Umum (Ketum) Prof. Otto Hasibuan.
Ketua Harian DPN Peradi, R. Dwiyanto Prihartono, pada Rabu (6/12), menjelaskan, Peradi di bawah Ketum Prof. Otto Hasibuan merupakan satu-satunya organisasi advokat yang diberikan kewenangan untuk mengurusi advokat sebagaimana perintah Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
“Ada delapan kewenangan negara yang didelegasikan kepada Peradi ini [Peradi Otto Hasibuan], di antaranya pendidikan advokat, ujian advokat, dan pengangkatan advokat,” ujarnya.
Dosen Pendamping Lapangan yang juga menjabat Dekan FH UBH Padang, Dr. Sanidjar Pebrihariati R., S.H., M.H., menyampaikan, kuliah lapangan di DPN Peradi ini diikuti oleh 42 orang mahasiswa FH semester VII yang telah selesai mengikuti ujian seminar proposal untuk mendapatkan pengetahuan praktik di bidang hukum.
Dalam acara yang juga dihadiri Waketum DPN Peradi Zul Armain Aziz, Wasekjen Viator Harlen Sinaga, dan Kabid Publikasi, Humas, dan Protokoler Riri Purbasari Dewi ini, Peradi menyiapkan tiga pemateri untuk membekali puluhan mahasiswa FH UBH mengenai praktik perkara TUN.
Pertama, Ketua Bidang Kajian Hukum dan Perundang-Undangan DPN Peradi, Nikolas Simanjuntak,menyampaikan, berdasarkan hasil riset pihaknya pada tahun 2018, ada sekitar 78 ribu peraturan tidak sinkron dan harmonis dengan ketentuan hak asasi manusia dan UUD 1945. Dari jumlah itu, 43 ribu di antaranya merupakan peraturan daerah (Perda) tingkat provinsi dan kabupaten atau kota.
Ia mengungkapkan, hadirnya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa juga melahirkan banyak peraturan desa (Perdes) yang tidak sinkron dengan UU di atasnya, terlebih lagi dengan ketentuan HAM dan UUD 1945.
“Itu [bisa] diadvokasi. Advoksi untuk melakukan judicial review terhadap Perda sudah ada peraturan pendukungannya,” kata dia.
Pembicara selanjutnya, Anggota Dewan Kehormatan Daerah (DKD) DKI Jakarta, Ali Abdullah Moda, menyampaikan, warga negara mempunyai hak untuk menggugat eksekutif, legislatif, dan yudikatif serta lembaga di bawahnya sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Pria yang juga dosen Hukum Tata Negara (HTN) di Universitas Pancasila (UP) Jakarta ini menyampaikan, masyarakat bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) misalnya karena pejabat pemerintahan tidak mengeluarkan surat keputusan (SK)? mengenai suatu hal.
Ia mencontohkan gugatan yang besifat fiktif negatif yang pasif, yakni wali kota tiba-tiba melakukan pembongkaran suatu bangunan, tetapi tidak ada surat atau dasar hukumnya. Sedangkan contoh tindakan bersifat pasif, yakni wali kota tidak juga menindaklanjuti permohonan penebangan pohon yang dianggap membahayakan.
“Itu bisa menjadi objek sengketa TUN tapi perbuatannya melawan hukum dan penguasa. Itu dimungkinkan diajukan gugatan yang bersifat pasif maupun bersifat aktif,” ujarnya.
Sedangkan pembicara terakhir, Anggota Peradi, Diani Kesuma, menjelaskan syarat berdirinya suatu negara hukum, di antaranya adanya peradilan tata usaha negara untuk mengawasi pemerintahan atau birokrasi yang tugasnya melayani publik atau masyarakat.
“Kalau pejabat pemerintah bertindak sewenang-wenang, kita ingin cepat-cepat menikah tapi pejabat tidak mengurusi [misalnya], kita bisa menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara,” ujarnya.
Masyarakat juga bisa mengadu ke Ombudsman selaku pengawas internal pemerintahan jika terjadi dugaan maladministrasi. Aduannya bisa termasuk soal pelayanan pengadilan yang bukan ranahnya pengadilan tata usaha negara.
“Kalau maladministrasi karena kita merasa dirugikan karena lama, berlarut-larut pelayanan, jangan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, ke Ombudsman,” ujar dosen HTN UP Jakarta ini.