Jakarta Selatan, Gatra.com - Sejak PT Sentul City Tbk. melakukan penggusuran secara sepihak kepada puluhan warga yang tinggal dan menggarap lahan di Desa Bojong Koneng, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor pada medio 2021, hingga saat ini penyelesaiannya masih jauh panggang dari api.
Konflik pertanahan tersebut sempat menjadi perhatian anggota DPR RI dan pemberitaan media massa nasional karena penggunaan alat berat untuk menggusur dan meratakan tanaman garapan serta bangunan milik warga.
Awalnya ada upaya dialog yang difasilitasi badan dan instansi terkait dengan urusan pertanahan, namun sudah lebih dari dua tahun permasalahan masih menggantung alias belum tuntas.
Akhirnya banyak warga yang memilih untuk menyelesaikan secara litigasi melalui jalur pengadilan. Hal itu ditempuh warga setelah beberapa upaya mediasi dan penyelesaian yang adil tidak berhasil disepakati.
Kabar terbaru, konflik pertanahan tersebut sudah masuk menjadi sengketa pertanahan. Ada belasan warga yang membawanya menjadi perkara pertanahan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
Satu di antaranya adalah perkara pertanahan dengan nomor 394/Pdt.G/2023/PN.Jkt Selatan antara Sri Wiwik Prihatin VS PT Sentul City Tbk, dimana Sri Wiwik Prihatin mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap PT Sentul City.
Sri Wiwik adalah pemegang hak garap dan penguasaan lahan secara fisik tanpa putus pada tanah yang terletak di Blok 27, Kp Cikeas, RT. 001/RW. 010, Desa Bojong Koneng, Kecamatan Babakan Madang, Kab. Bogor, seluas 8.592 meter persegi yang diperoleh berdasarkan oper alih garap dari Ir. Abdul Wahab Asjari sebagai pemegang hak garap tanah tersebut dari sejak tahun 1984.
Sementara PT Sentul City mengklaim sebagai pemilik tanah garap milik Sri Wiwik dengan alas hak SHGB No. 2415 Desa Bojong Koneng yang terbit pada tanggal 20 Desember 2013 dan Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Jawa Barat No. 306/HGB/BPN/2014 tentang Pemberian Perpanjangan HGB No. 2415/ Bojong Koneng seluas 118.705 meter persegi atas nama Sentul City Tbk.
Nah Sri Wiwik menilai bahwa SHGB No. 2415 Desa Bojong Koneng yang terbit pada tanggal 20 Desember 2013 tersebut merupakan SHGB bersyarat. Hal itu disimpulkan dari Surat Keputusan Kepala Kanwil BPN Prov. Jawa Barat No. 306/HGB/BPN/2014 tentang Pemberian Perpanjangan HGB No. 2415/ Bojong Koneng seluas 118.705 meter persegi yang mensyaratkan tanah yang dimohonkan dikuasai pemohon baik secara juridis maupun secara fisik dan apabila dalam jangka 3 (tiga) tahun tidak segera dibangun/dimanfaatkan sesuai sifat, tujuan dan maksud dari pemberian haknya maka surat keputusan dan hak yang timbul karenanya dinyatakan batal demi hukum dan tanahnya menjadi objek tanah terlantar.
Perkara ini sudah sampai pada tahap dimana para pihak saling mengajukan saksi fakta dan saksi ahli di depan majelis hakim. Pada Senin tanggal 4 Desember 2023, giliran pihak Sentul City yang telah diagendakan oleh majelis hakim untuk mengajukan saksi ahli di persidangan.
Sepekan sebelumnya, pada Senin, 27 November 2023 Sri Wiwik Prihatin yang didampingi penasehat hukum Donsisko Purba SH dari Kantor RHP Law Firm sebagai penggugat telah mengajukan dan menghadirkan saksi ahli untuk membongkar persoalan pertanahan di Bojong Koneng.
Saksi ahli yang dihadirkan adalah Dr. Ronsen Pasaribu SH, MM. Ronsen diajukan sebagai saksi ahli oleh Sri Wiwik karena dinilai memiliki kapasitas pengetahuan dan kompetensi pengalaman yang mumpuni dalam menangani serta menyelesaikan sengketa dan konflik pertanahan.
Selama berkarir sebagai PNS, Ronsen memiliki pengalaman kerja sebagai Kepala Kantor Pertanahan Lumajang, Sidoarjo, Kota Medan, Jakarta Pusat. Lalu Kabid hak-hak atas tanah di Kanwil BPN Provinsi DKI Jakarta, Direktur Konflik BPN RI, Kepala Kanwil BPN Provinsi Riau, Direktur Land Reform Kementerian ATR/BPN, dan Penasehat Ahli Menteri ATR/BPN Ferry Mursildan Baldan.
Di hadapan majelis hakim, Ronsen menyampaikan sejumlah hal yang perlu dijadikan dasar dan diungkap dengan jelas serta tranparan untuk penyelesaian yang adil mengenai konflik pertanahan secara umum antara warga di Bojong Koneng dengan pihak PT Sentul City.
Pertama, konflik pertanahan di Bojong Koneng mesti diperjelas duduk persoalannya dengan menelusuri sejarah asal usul hak-hak atas tanah yang melekat di sana. Diketahui bahwa sebelumnya tanah di sana dikuasai oleh PT Perkebunan XI untuk perkebunan dan kemudian secara bertahap menjadi tanah Hak Guna Bangunan (HGB) yang dikuasai oleh Sentul City.
Jika tanah di sana dulunya dikuasai oleh perusahaan milik Belanda yang terkena nasionalisasi melalui UU No. 86 Tahun 1958 dan diumumkan dalam LN Tahun 1958 No.162, maka dapat dilihat batas tanah di kawasan itu melalui meetbrief atau surat ukur yang dibuat pada waktu itu sebagai dasar pembayaran ganti rugi oleh Pemerintah Indonesia.
‘’Dibukanya meetbrief nasionalisasi ini adalah bagian dari clear and clean agar keputusan hakim tidak salah dan adil,’’ katanya.
Menurut Ronsen, pihak Belanda selalu akurat dan detail terkait pengukuran tanah serta peruntukannya untuk perkebunan. Jika perkebunan karet membutuhkan lahan tanah datar, maka harus ditelusuri apakah kawasan Bojong Koneng yang berbukit-bukit dan curam adalah benar bagian dari perkebunan karet milik perusahaan Belanda yang terkena objek nasionalisasi.
Kedua, berdasarkan meetbrief yang dikeluarkan Belanda dan sejumlah peta ukur yang dikeluarkan hingga peruntukan tanah untuk perpanjangan HGB Sentul City dapat diketahui peta dasar dan perubahan tata ruang yang pernah terjadi hingga saat ini. Dari situ dapat dilihat apakah perubahan itu sudah sesuai dan berdasarkan pada peraturan pertanahan yang berlaku.
Menurut Ronsen, perlu dilakukan overlay peta dengan menempatkan grafis satu peta diatas grafis peta lainnya untuk kemudian dijadikan patokan dalam pengukuran batas-batas fisik di lapangan oleh pihak BPN.
Dari titik koordinat yang tepat dan tidak bergeser akan dapat diketahui kebenaran dan akurasi batas-batas tanah yang kini menjadi sengketa dan sumber konflik pertanahan di Bojong Koneng.
Soal asal usul status tanah di Bojong Koneng ada beberapa kemungkinan, apakah dulu merupakan tanah partikelir yang tunduk dan diatur dengan UU No. 1 Tahun 1958; atau tanah hasil nasionalisasi yang kemudian menjadi tanah perkebunan PT Perkebunan XI; atau tanah milik orang/perusahaan Belanda yang meninggalkan Indonesia; atau tanah komunal adat yang turun-temurun ditempati warga lokal sebagai ahli waris dari sejak zaman Belanda hingga kini.
Ditemui selepas sidang, Ronsen mengungkapkan bahwa dalam pengukuran fisik batas tanah sengketa, BPN harus cermat untuk menelusuri keabsahan dan kebenarannya sehingga bisa clear and clean.
‘’Dalam pengukuran tanah sengketa, para pihak jangan asal main klaim tapi harus berdasarkan titik koordinat dan garis batas dari meetbrief yang ada agar tidak melenceng dan merugikan salah satu pihak,’’ katanya.
Ketiga, mengenai pemberian HGB dan perpanjangan HGB harus diteliti keabsahannya apakah sudah sesuai dengan ketentuan perundangan pertanahan agar tidak memicu timbulnya konflik pertanahan, seperti kasus di Bojong Koneng.
Dari pengukuran tanah secara kadaster akan menghasilkan batas, bentuk dan luas, serta nomor identifikasi bidang tanah (NIB). Lalu penelitian tanah oleh Panitia A dan Panitia B harus memastikan tanah dalam kondisi clear dan clean, artinya tidak dalam keadaan sengketa, konflik dan perkara, serta tidak ada pihak lain yang menempati.
Apabila ada penguasaan orang lain, menurut Ronsen, maka pemberian HGB harus ditunda atau tidak diberikan hak sebelum permasalahan diselesaikan secara hukum. Ronsen menambahkan bahwa ketidaksesuaian data fisik dapat terjadi apabila di lapangan terdapat penguasaan oleh pihak lain.
‘’Jika masih ada ketidaksesuaian data fisik, maka sejak awal pemberian HGB tersebut tidak dapat langsung diberikan,’’ katanya.
Pihak pemohon harus diberitahukan perlunya dilakukan penelitian dan penyelesaian penguasaan hak atas tanahnya oleh pihak yang menguasai tanah yang dimohon.
Apabila ada penguasaan orang lain dengan tanaman tumbuh dan bangunan, maka dapat dikategorikan tidak sesuai penguasaan fisik dan tidak pula dapat dikatakan tanah tersebut masih dikuasi pemohon.
Keempat, terkait surat garap atas tanah negara, yang dikuasai dengan itikad baik oleh warga melalui peralihan garapan dan diketahui oleh saksi-saksi dan dicatatkan oleh Pemerintah setempat seperti Kepala Desa atau Lurah berkebumian, sepanjang tidak ada permasalahan dengan pihak lain dapat dijadikan sebagai alas hak oleh karena penggarap sudah menggarap apalagi dalam waktu yang lama.
Data pendukung tanah garapan, yaitu penggarap membayar kewajiban pajak PBB mengingat sudah memanfaatkan tanah tersebut; diketahui saksi-saksi; pengusahaan tanah garap dan mendirikan bangunan dengan mendapat ijin usaha dari instansi terkait.
Saat dikonfirmasi usai sidang, Ronsen mengungkapkan bahwa dalam hal tanah garapan yang sudah dikuasai 38 tahun lebih lalu ada hak atas tanah (HGB) di atasnya atau warkah kepemilikan kedua pihak ternyata tumpang tindih, maka perlu dilihat riwayat kepemilikannya serta proses penerbitan HGB tersebut.
‘’Dalam hal penerbitan HGB diterbitkan sementara hak garap sudah ada, maka HGB tersebut harus menempuh kondisi clear end clean dahulu dengan menyelesaikan permasalahan dengan para penggarap terdahulu,’’ katanya.
Menurut Ronsen sepanjang belum diselesaikan maka tidak dapat diterbitkan HGB, hal ini dikarenakan pemegang hak garap memiliki hak prioritas untuk memohon haknya secara langsung kepada negara yaitu hak milik untuk pertanian atau bangunan tempat tinggal.
Dalam penyelesaian konflik pertanahan yang pelik, Ronsen mengungkapkan bahwa penanganan kasus dibedakan dengan mempertimbangkan tipologi kasus, seperti tipologi kepemilikan, batas, tumpang tindih, penggunaan, kemanfaatan tanah seperti amanah UUD 1945 dan lainnya.
‘’Untuk penyeleseaiannya secara garis besar dapat melalui cara kekeluargaan, mediasi/non litigasi, badan peradilan, dan arbitrase,’’ pungkasnya.