Home Ekonomi Menilik Kondisi Pekerja SKT: Diskriminasi Lewat Regulasi

Menilik Kondisi Pekerja SKT: Diskriminasi Lewat Regulasi

Jakarta, Gatra.com - Sigaret Kretek Tangan (SKT), salah satu warisan nenek moyang Indonesia yang telah ada sejak jaman penjajahan Belanda. Baru-baru ini, sebuah serial Netflix berjudul Gadis Kretek menceritakan sekelumit perjalanan SKT di zaman pascapenjajahan.

Serial itu menceritakan tentang Dasiyah atau Jeng Yah, seorang anak gadis pengusaha SKT yang bermimpi menciptakan saus kretek terbaik. Dihadapkan dengan diskriminasi terhadap perempuan yang masih kental kala itu, membuat Jeng Yah kesulitan menggapai mimpinya. Belum lagi, ia harus dihadapkan dengan romansa percintaan yang berujung pengkhianatan.

Rupanya, di zaman modern sekarang ini para pelinting kretek yang hampir semuanya wanita juga masih mendapat diskriminasi. Bukan dari stigma masyarakat soal gender, melainkan diskriminasi berupa regulasi yang terus menekan industri tempat mereka menyambung hidup.

Berbagai macam aturan yang menekan ekosistem pertembakauan dibuat pemerintah dengan dalih kesehatan. Terbaru, pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (Omnibus Law Kesehatan) yang selanjutnya langsung disusun aturan pelaksanaannya lewat Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP).

Dalam RPP Kesehatan, produk tembakau dikategorikan sebagai zat adiktif, setara dengan narkoba. Aturan-aturan dalam RPP ini otomatis banyak ditolak oleh para pekerja dan petani di ekosistem pertembakauan. Lantaran, aturan ini dinilai semakin memberatkan industri yang bisa berdampak pada para pekerja dan petani.

Padahal, rokok merupakan sebuah produk legal yang kontribusinya cukup besar terhadap perekonomian negara. Sebut saja dari sisi penerimaan negara, berdasarkan data Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), dalam penjualan satu batang rokok, 58% masuk ke negara melalui cukai dan 10% berupa pajak. Artinya, sekitar 68% hasil penjualan rokok menjadi pemasukan bagi negara.

Belum lagi di sisi penyerapan tenaga kerja. Data Kementerian Perindustrian menyebutkan, setidaknya terdapat 5,98 juta tenaga kerja tergabung dalam industri hasil tembakau (IHT). 4,28 juta di antara bekerja di sektor manufaktur dan distribusi, sedangkan 1,7 juta bekerja di sektor perkebunan tembakau dan cengkeh.

Dari jumlah itu, lebih dari 500 ribu orang di antaranya merupakan wanita-wanita pelinting yang bekerja di sektor SKT. Sebagian besar pada wanita pelinting kretek ini merupakan tulang punggung keluarga. Pendidikan formalnya pun tidak begitu tinggi, rata-rata hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau di bawahnya.

"Sektor ini banyak melibatkan pekerja perempuan yang kini juga menjadi ibu rumah tangga. Sektor SKT juga banyak menyerap pekerja yang berkebutuhan khusus atau penyandang disabilitas," kata ketua AMTI, I Ketut Budhyman Mudhara di Jakarta, 25 November 2023 lalu.

Sekretaris Jenderal AMTI, Tri Hananto Wibisono juga menyebut bahwa situasi regulasi masih belum menunjukkan sinyal positif bagi para pekerja SKT. RPP Kesehatan yang masih berproses saat ini, menimbulkan kekhawatiran khususnya bagi para pekerja di ekosistem pertembakauan. Belum lagi, kebijakan cukai rokok yang akan kembali naik 10% di tahun 2024.

"Jadi kalau hari ini kita masih pakai nomenklatur RPP yang hari ini sedang diolah, itu dalam aturan-aturan yang dirilis oleh Kemenkes kan lebih pada ada sebuah pemaksaan aturan, karena rokok produk legal tapi aturannya seperti barang ilegal. Jualan gak boleh men-display dan lainnya," katanya kepada Gatra pada Sabtu (2/12).

Melihat berbagai fenomena regulasi di sektor IHT ini, Hananto pun meminta pemerintah untuk membuat regulasi yang mempertimbangkan segala aspek. Aturan yang dibuat harus melihat secara utuh dan menyeluruh, khususnya terkait keberlangsungan mata pencaharian para pekerja SKT.

Para wanita pelinting kretek ini juga dibayangi berbagai kekhawatiran. Misalnya, persaingan kompetensi yang semakin tinggi dibanding para pekerja di sektor lain. Bahkan, persaingan ini juga dirasakan antarpekerja SKT dengan tingkat umur berbeda. Para wanita pelinting yang sudah cukup tua, mulai merasa inferior melihat junior-juniornya yang memiliki pendidikan lebih tinggi.

"Oleh karena itu, sudahlah, jangan 'dimatikan' industri ini. Karena itu menjadi mata pencaharian yang sudah bertahun-tahun bagi mereka," ujar Hananto.

Kondisi yang lebih parah terjadi pada para pekerja di pabrik SKT skala kecil dan menengah. Sebagian besar pabrik SKT kecil dan menengah menerapkan insentif para pekerjanya berdasarkan hasil produksi. Semakin banyak lintingan rokok yang dihasilkan, semakin besar penghasilan yang didapat. Begitu pula sebaliknya.

"Ketika kuota produksi di pabrikan kecil ini berkurang akibat regulasi yang tidak mendukung, maka tentu saja berdampak pada jumlah insentif yang didapat oleh teman-teman pekerja di sana," jelasnya.

279