Jakarta, Gatra.com – Koalisi NGO untuk Keadilan Pemilu (Singkap) yang terdiri Kontras, SETARA Institute, Imparsial, dan KPPOD, menemukan 59 kasus dugaan penyimpangan Apartur Negara dalam Pemilu 2024.
Jumlah tersebut, kata Gufron Mabruri, Direktur Imparsial, dalam keterangan pada Kamis (30/11), berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan Koalisi Singkap sejak bulan Mei hingga November 2023.
Dari 59 kasus tersebut, terdiri dari 65 tindakan. Pemantauan ini mengategorikan secara berbeda antara kasus dengan tindakan penyimpangan. Kasus merupakan penyimpangan yang terjadi pada ruang dan waktu tertentu. Sedangkan tindakan adalah tindakan penyimpangan yang dilakukan oleh pelaku tertentu.
Lebih lanjut Gufron menjelaskan, dalam pemantauan ini, Koalisi Singkap mengategorikan kasus-kasus penyimpangan apratur negara pada tiga jenis pelanggaran, yakni pelanggaran netralitas, kecurangan pemilu, dan pelanggaran profesional.
“Dalam pemantauan selama tujuh bulan terakhir, pelanggaran netralitas terjadi dalam 32 kasus, kecurangan pemilu sebanyak 24 kasus, dan pelanggaran profesional sebanyak 4 kasus,” ujarnya.
Kemudian, kalau dirinci lebih detail, dari 65 tindakan tersebut, yang masuk dalam tiga penyimpangan yang paling banyak dilakukan, yakni dukungan ASN kepada kontestantan tertentu sebanyak 70 tindakan, dukungan pejabat kepada kontestan tertentu sejumlah 7 tindakan, dan kampanye terselubung sebanyak 4 tindakan.
Adapun tindakan yang terbanyak kedua, yakni intimidasi sebanyak 3 tindakan, dukungan penyelenggara negara kepada kontestan tertentu sebanyak 2 tindakan, dan pengamanan yang tidak profesional sejumlah 2 tindakan.
Sedangkan sisanya, masing-masing 1 tindakan untuk dukungan Polri kepada kontestan tertentu, intimidasi terselubung, pembatasan kebebasan berekspresi, ASN menjagi caleg, PPPK menjadi caleg, penggunaan fasilitas negara, dan penggunaan tempat ibadah untuk kampanye politik.
“Pelaku penyimpangan aparatur negara beraneka ragam. Tiga pelaku tertinggi adalah ASN Pemkab 10 tindakan, kepala desa, Polri, dan kepala dinas masing-masing 5 tindakan, dan guru 3 tindakan,” ujarnya.
Selanjutnya, kontestan Pemilu yang diuntungkan dari penyimpangan aparatur negara dalam pemantauan ini dikategorikan ke dalam kandidat dan partai politik.
“Kasus-kasus yang menguntungkan kandidat sebanyak 43 kasus, dengan 21 kasus menguntungkan pasangan Prabowo-Gibran, Caleg DPRD sebanyak 8, pasangan Ganjar-Mahfud 7, Caleg DPD RI 3, Caleg DPR RI 3, dan Anies-Muhaimin (AMIN) 2,” katanya.
Sedangkan untuk partai politik yang diuntungkan dari kasus-kasus penyimpangan Aparatur Negara, yakni Partai Golkar menduduki peringkat tertinggi, yakni diuntungan dari 4 kasus penyimpangan. Selanjutnya, PAN dari 3 kasus, PDIP dan NasDem masing-masing dari 2 kasus, serta Demokrat dan tidak spesifik masing-masing dari 1 kasus.
Adapun untuk lokasi penyimpanganya, Nusa Tenggara Barat (NTB) menduduki posisi pertama atau tertinggi, yakni sebanyak 12 kasus. Selanjutnya Jawa Tengah 9 kasus, Sulawesi Selatan 6 kasus, DKI Jakarta dan Jawa Timur masing-masing 6 kasus, Sulawesi Barat 4 kasus, serta Jawa Barat dan Lampung masing-masing 3 kasus.
Urutan selanjutnya, Bali, Sumatera Utara, Banten, dan Sulawesi Utara masing-masing 2 kasus, serta Sulawesi Tenggara, Papua Barat, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah masing-masing 1 kasus.