Medan, Gatra.com - Bagi Andi Rossandy Pratama dan Fidiyani Nasution, pembangunan pendidikan dan sekolah tidak bisa terlepas dari aspek kolaboratif. Keduanya merupakan seorang Kepala Sekolah SD di Kota Medan. Keduanya pula mengedepankan kolaborasi dalam menghadirkan pembelajaran optimal di masing-masing sekolah mereka.
Keduanya merupakan lulusan Program Guru Penggerak yang berasal dari angkatan ke-5. Hampir pada tahun yang sama, keduanya pun diangkat menjadi Kepala Sekolah. Pengayaan yang mereka dapat dari komunitas guru penggerak pula, yang dijadikan dasar kala berperan menjadi pemimpin pendidikan di masing-masing sekolah.
Andi misalnya. Ia kini diamanahi sebagai Kepala UPT SDN 068074 Kecamatan Medan Denai, Kota Medan. Menjadi kepala sekolah menjadi tantangan tersendiri untuknya. Utamanya dalam memastikan penyelenggaraan pendidikan di sekolah tersebut berjalan optimal.
Baca Juga: Nadiem Optimis, Merdeka Belajar Terus Jalan Setelah Tak Jadi Menteri
Dalam hal ini, Andi menerapkan salah satu cara yang ia dapat kala berbagi pengalaman dengan guru penggerak lainnya. Kolaborasi harus ia jalankan. Dan salah satu kolaborasi yang hadir melalui lembaga kultural asal Jepang, Japan Foundation. “Saya mengajak Japan Foundation untuk mengenalkan budaya disiplin kepada para siswa. Dan siswa pun antusias, karena mereka bertemu sosok baru saat belajar,” ujar Andi saat ditemui di SMPN 4 Medan, Selasa lalu.
Bukan dari aspek itu saja, kolaborasi antar pengajar pun menjadi sesuatu yang dikedepankan Andi di sekolah yang dipimpinnya. Sebagai satu-satunya guru penggerak di SD tersebut, Andi paham betul bahwa ia harus mengimbas guru-guru sejawat di sekolahnya.
Salah satu contohnya, ia saat ini tengah membuat inovasi baru terhadap model pembelajaran di kelas. Harapannya, langkah pembaharuan ini pun dapat ditiru oleh para guru lainnya. “Cara belajar yang dulu banyak ceramah saat ini saya ganti dengan menggunakan alternatif lain. Seperti Canva dan sebagainya,” tutur dia.
Hal serupa pun dilakukan Fidiyani. Kala ditunjuk untuk memimpin SDN 060835 Kecamatan Medan Barat, ia mendapati kondisi kurang ideal hadir di sekolah tersebut. Utamanya, ia harus memimpin sekolah yang jumlah siswanya hanya berjumlah 26 siswa.
Bekal menjadi guru penggerak pun akhirnya diimplementasikan Fidiyani. Dalam hasil analisanya, menurunnya minat orang tua dan siswa untuk belajar di sekolah tersebut ditengarai akibat kurang aktifnya sekolah dalam menunjukan kegiatan dan aktivitas pembelajaran.
Ia pun putar otak. Hal pertama yang dilakukan yakni membuat SD tersebut hidup dan banyak beraktivitas. Sekali lagi paradigma kolaborasi pun jadi jalan keluar.
Fidiyani belakangan tengah aktif menyambangi berbagai pihak dan lembaga untuk bekerjasama dalam menggelar aktivitas di sekolahnya. Misalnya saja, ia mengajak kolaborasi Puskesmas setempat untuk menggelar sosialisasi sikat gigi pada anak. Lalu, ia juga menghidupkan kembali ekstrakurikuler di sekolah tersebut, salah satunya adalah ekskul tarian.
“Cara berkegiatan ini yang akhirnya membuat orang tua dan masyarakat melihat bahwa sekolah kami itu bisa menjadi tempat belajar yang menyenangkan,” tutur dia.
Baca Juga: Nadiem: Upaya Transformasi Digital Perguruan Tinggi Harus Didorong
Tak lupa, pembangunan komunitas guru pun menjadi strategi yang diambil Fidiyani guna menumbuhkan keterampilan sesama guru secara kolaboratif.
Awalnya, upaya ini ia mulai dengan sekelompok kecil guru yang memiliki keingintahuan tentang model-model pembelajaran yang terdapat dalam Guru Penggerak. Dari upaya merengkuh lingkaran kecil, dia mengaku, program-program pembelajaran di kelas itu kemudian berkembang sehingga diterima banyak guru.
"Program di kelas itu kini telah berubah dibandingkan sebelum saya ikut Guru Penggerak. Artinya, ada kesepakatan kelas, (perubahan) cara belajar," katanya.