Jakarta, Gatra.com- World AMR Awareness Week (WAAW) atau pekan kesadaran Antimicrobial Resistance (AMR) yang ditandai dengan kolaborasi multi stakeholders menjadi momentum penting bagi masyarakat dunia agar memiliki kesadaran tentang bahaya resistansi antimikroba.
Pfizer Indonesia sebagai perusahaan biofarmasi inovatif, mendukung pentingnya kesadaran AMR ini melalui webinar “Memitigasi Risiko AMR di ICU melalui Komunikasi yang Optimal antara Nakes dan Keluarga Pasien: Tepat Waktu, Tepat Pasien, Tepat Guna” pada Rabu (29/11).
AMR adalah suatu kondisi di mana mikroba penyebab infeksi pada tubuh pasien sulit untuk dilawan oleh obat antibiotik, antivirus atau antijamur. Dimana pada akhirnya menyebabkan pasien sulit sembuh dan perlu dirawat lebih lama.
Masalah ini adalah salah satu ancaman kesehatan masyarakat yang serius, dimana WHO telah memperkirakan akan terjadi 10 juta kematian pada tahun 2050 karena
peningkatan kasus AMR.
Baca juga: Prevalensi Hepatitis di Indonesia Masih pada Tingkat Menengah sampai Tinggi
Sejalan dengan tema World AMR Awareness Week tahun ini ‘Preventing Antimicrobial Resistance Together’, Pfizer Indonesia bekerjasama dengan Indonesia One Health University Network (INDOHUN), serta pakar kesehatan dan komunitas pasien, menyosialisasikan gerakan #JitudiICU untuk mendorong penggunaan antibiotik yang bijak dan rasional di unit perawatan intensif (ICU).
"Kami harap gerakan ini dapat meningkatkan kesadaran publik dan para pemangku kepentingan terkait untuk menekan risiko terjadinya AMR.” ungkap Presiden Direktur Pfizer Indonesia, Nora T. Siagian pada acara webinar, Rabu (29/11).
Lebih lanjut, Nora menjelaskan peningkatan pemahaman mengenai risiko terjadinya AMR dapat tercapai melalui komunikasi dua arah yang produktif antara tenaga kesehatan dengan pasien atau keluarganya. Ketika terdapat keluarga atau kerabat yang harus dirawat di ICU, seringkali keluarga pasien merasa bingung, takut, dan panik.
Baca juga: Waspadai Resistansi Antimikroba setelah COVID-19
Akibatnya, mereka sangat mengandalkan petugas kesehatan untuk memberikan solusi. Padahal, komunikasi dua arah diperlukan agar kedua pihak memiliki tingkat pemahaman yang sama tentang kondisi pasien dan berorientasi pada peningkatan kualitas perawatan
pasien,termasuk dengan meminimalkan risiko terjadinya AMR di ICU.
ICU merupakan salah satu tempat dimana pasien menerima antibiotik sebagai salah satu terapi utama
untuk menyembuhkan infeksi. Untuk itu, penggunaan antibiotik secara bijak dan rasional sangat penting untuk dipahami.
Salah satu upaya untuk mendorong pengobatan yang jitu di ICU adalah
dengan menciptakan kesempatan komunikasi yang produktif antara pasien dengan tenaga kesehatan
yang bertugas. Namun banyak dari masyarakat yang ragu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan.
Baca juga: Seminar Ilmiah PDGI Jakarta Barat Bahas Pentingnya Digital Dentistry
Sarwendah, seorang artis dan juga ibu rumah tangga memiliki perhatian khusus pada pola komunikasi
yang jelas dan berkesinambungan antara pasien dan dokter. Ia meyakini komunikasi adalah kunci untuk kesembuhan pasien.
Hal ini dirasakan langsung saat ia merawat suaminya, Ruben Onsu. “Ketika suami saya dirawat di ICU, saya berkomunikasi intens dengan dokter untuk mengetahui perkembangannya, serta memahami obat-obatan yang diberikan. Jangan sampai, kita tidak mengetahui perawatan yang diberikan pada anggota keluarga sendiri, terlebih lagi tentang penggunaan antibiotik,” ungkapnya.
“Dokter membantu saya memahami tentang penggunaan antibiotik yang tepat, agar pasien bisa sembuh dan tidak terkena AMR. Pengetahuan tentang AMR sangat penting karena berdampak pada perawatan kesehatan jangka panjang pasien. Saya ingin agar pengalaman saya dapat menjadi inspirasi
bagi orang lain untuk memahami dampak AMR dan cara mencegahnya,” tambahnya.
Sepakat dengan Sarwendah, dr. Pratista Hendarjana, Sp. An-KIC selaku Dokter Spesialis Anestesi dan Konsultan Perawatan Intensif juga menyetujui komunikasi yang baik antara pasien dan tenaga kesehatan dapat mempercepat proses pengobatan di ICU.
Lebih lanjut, ia juga menyampaikan bahwa di tengah kondisi pasien yang sangat lemah, tugas dokter dan tenaga kesehatan lainnya adalah untuk memastikan bahwa pesan tentang perawatan dan penggunaan antibiotik yang rasional. Serta disampaikan dengan jelas dan dapat dipahami oleh pasien maupun keluarganya.
Baca juga: Prevalensi Hepatitis di Indonesia Masih pada Tingkat Menengah sampai Tinggi
Oleh karena itu, beliau mengajak para dokter dan tenaga kesehatan untuk
memberikan perhatian khusus pada kualitas komunikasi dengan pasien, terutama di lingkungan ICU di mana perawatan seringkali kritis dan kompleks.
"Ini bukan hanya tentang memberikan informasi saja, tetapi juga tentang mendengarkan. Pasien di ICU sering kali dalam kondisi yang memerlukan pemahaman dan kehadiran ekstra dari tim perawatan,” jelasnya.
Melalui komunikasi yang efektif antara pasien dan tenaga kesehatan maka akan berkontribusi pada tindakan medis yang tepat waktu (right time), tepat pasien (the right patient condition), dan tepat guna (the right use) sesuai semangat gerakan edukatif #JitudiICU.