Jakarta, Gatra.com - PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO) mencatatkan pendapatan pada sembilan bulan pertama 2023 (9M23) sebesar US$4.981 miliar, atau 16% lebih rendah dibanding pendapatan pada 9M22.
Meski demikian, perseroan menjelaskan bahwa, produksi dan penjualan masing-masing naik 12% dan 11% menjadi 50,73 juta ton dan 49,12 juta ton, yang diofset dengan penurunan 25% pada harga jual rata-rata (ASP) yang mengakibatkan amblesnya pendapatan ADRO pada 9M23.
Sementara itu, beban pokok pendapatan naik 17% secara year on year (yoy) menjadi US$2,99 miliar dari yang setahun sebelumnya sebesar US$2,54 miliar. Hal ini didorong oleh beban royalti PT Adaro Indonesia (AI) lebih tinggi dibanding periode yang sama tahun lalu.
Selain itu, biaya penambangan dan biaya pengolahan batu bara juga naik karena adanya kenikan volume. Total biaya bahan bakar naik 18% akibat kenaikan 33% pada konsumsi bahan bakar. Biaya kas batu bara per ton (tidak termasuk royalti) pada 9M23 naik 11% dari 9M22.
Di sisi lain, royalti kepada Pemerintah dan naik 33% menjadi US$1.170 miliar dari US$882 miliar, sementara beban pajak penghasilan turun 71% menjadi US$332 miliar dari USD1.165 miliar. Setelah mendapatkan IUPK-KOP pada bulan September 2022, mulai 1 Januari 2023, Al menerapkan ketentuan perpajakan dan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) sesuai peraturan yang berlaku.
Karena IUPK-KOP, tarif royalti Al naik ke kisaran 14% sampai 28%, dari tarif sebesar 13,5% berdasarkan ketentuan sebelumnya. Namun, tarif pajak penghasilan badan turun dari 45% menjadi 22%. IUPK-KOP juga mengakibatkan perubahan lainnya terhadap bisnis Al, misalnya terkait pendapatan negara bukan pajak (PNBP) untuk pemerintah pusat dan porsi pemerintah daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Al meliputi 74% produksi Grup Adaro pada 9M23.
Lebih lanjut, EBITDA operasional ADRO turun 49% yoy menjadi US$1.944 miliar dan laba inti turun 39% menjadi US$1.418 miliar pada 9M23 karena penurunan ASP dan kenaikan biaya. Margin EBITDA operasional pada 9M23 mencapai 39%. Laba bersih periode ini yang mencapai US$1.378 miliar telah memperhitungkan PNBP untuk pemerintah pusat (porsi 4%) dan pemerintah daerah (porsi 6%).
Untuk total aset ADRO per akhir 9M23 tercatat naik 4% menjadi US$10.394 miliar dibandingkan US$10.032 juta pada akhir 9M22. Saldo kas per akhir 9M23 naik 2% menjadi US$3.425 miliar sementara kas dan setara kas meliputi 33% total aset.
Aset lancar per akhir 9M23 relatif tidak berubah, atau tercatat sebesar US$4.537 miliar, dibandingkan US$4.548 juta pada akhir 9M22. Aset non lancar pada akhir 9M23 naik 7% dari US$5.857 miliar pada periode yang sama sebelumnya karena kenaikan aset tetap dan investasi pada ventura bersama, terutama dari pembelian alat berat dan kapal, dan investasi awal di KAl dan KPl.
Di sisi liabilitas, ADRO mencatatkan pada akhir 9M23 mencapai US$2.984 miliar, atau turun 20% dari periode yang sama tahun lalu, terutama karena penurunan 94% pada utang pajak penghasilan badan, walaupun beban yang mash harus dibayar naik 174% dan utang pajak lainnya naik 87% seiring perubahan pada peraturan pemerintah. Liabilitas lancar turun 36% yoy menjadi US$1.189 miliar dan liabilitas non lancar turun 5% jadi US$1.795 miliar.
Sementara ekuitas ADRO pada akhir 9M23, ekuitas atau modal pemegang saham US$7.410 miliar, atau naik 18% yoy berkat kenaikan laba ditahan.
Presiden Direktur dan Chief Executive Officer, Garibaldi Thohir mengatakan, walaupun Perseroan sedang menghadapi penurunan harga dan tekanan biaya karena inflasi, ia mengklaim model bisnis ADRO yang terintegrasi tetap berkinerja baik.
“Kami berada di posisi yang baik untuk mencapai target FY23 berkat dukungan eksekusi yang baik di setiap bisnis. Kami juga berada di tempat yang tepat untuk ambil bagian pada inisiatif hilirisasi Indonesia, yang menekankan komitmen kami terhadap pertumbuhan berkelanjutan di jangka panjang,” pungkasnya.