Home Gaya Hidup Perang Topat di Lombok, Merajut Tradisi dan Menjaga Toleransi

Perang Topat di Lombok, Merajut Tradisi dan Menjaga Toleransi

Lombok Barat, Gatra.com - Ritual budaya Perang Topat kembali digelar Pemerintah, Pengurus Kerama Adat Lingsar dan masyarakat Lingsar, di pelataran Pura Gaduh, Lingsar, Lombok Barat, NTB pada Selasa (27/11).

Tepat pukul 17.30 waktu setempat, atraksi budaya Perang Topat dimulai ditandai raraknya kembang waru (gugurnya kembang waru). Seketika itu masyarakat selepas zhuhur sudah memadati lokasi acara, melakukan atraksi saling lempar dengan menggunakan beberapa biji ketupat yang sudah disiapkan panitia.

Suasana gaduh dan riuh sembari berperang dengan ketupat sebagai senjata mereka, terus dilakukan dalam rentang waktu 15 sampai dengan 30 menit.

Pj Gubernur NTB HL Gita Ariadi, mengajak momentum perang ketupat itu dijadikan sebagai ajang silaturahmi. Karena Pujawali Kemaliq Lingsar ini terdapat sebuah pelajaran tentang toleransi.

"Pujawali perang ketupat bukan hanya sebagai ritual tahunan melainkan momentum mengecas spirit toleransi yang saat ini sangat dibutuhkan dalam mengisi proses pembangunan daerah maupun negara," ungkap Miq Gite sapaan akrab Pj Gubernur.

Selain itu, Miq Gite mengingatkan kepada masyarakat menjelang perhelatan pesta demokrasi untuk bersama-sama menyukseskan pemilihan umum, pemilihan Presiden, Gubernur Bupati/Walikota 2024.

"Jangan hanya gara-gara beda aspirasi, beda pilihan dijadikan sumber-sumber konflik yang menimbulkan perpecahan sehingga merugikan kita semua," tuturnya.

Tak lupa, Miq Gite menyampaikan terima kasih kepada Bupati Lombok Barat, untuk bersama-sama menjaga warisan.

"Mudah-mudahan dari tahun ke tahun, spirit penyelenggaraan perang ketupat ini dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari," katanya.

Bupati Lombok Barat, Hj. Sumiatun menyebut perang ketupat ini merupakan tradisi budaya masyarakat Lombok yang diselenggarakan setiap tahun di Desa Lingsar.

"Tepatnya di Pura Lingsar sebagai warisan leluhur dilaksanakannya sebagai rasa syukur atas hasil panen yang melimpah," ungkapnya.

Ditambahkan Sumiatun Perempuan pertama Bupati Lombok Barat ini bahwa perang ketupat ini diawali dengan ritual di kemaliq Pura Lingsar kemudian masyarakat Hindu dan Muslim melakukan tradisi saling lempar ketupat, sebagai perwujudan toleransi pluralisme yang hidup terjaga di tengah-tengah masyarakat.

Ketua Krama Adat Lingsar, HL Suparman mengungkapkan, tradisi Perang Topat merupakan bentuk pluralisme karena rangkaian acaranya melibatkan dua umat berbeda agama, yakni Islam dan Hindu.

Menurutnya, gambaran keharmonisan umat beragama tersebut bisa disaksikan sebelum puncak Perang Topat dimulai dengan ritual mengarak kerbau.

“Tokoh agama dari perwakilan umat Muslim dan Hindu memegang tali kerbau saat mengarak keliling taman Pura Lingsar,” katanya.

Dikatakan, hanya kerbau saja yang diarak, tidak yang lain seperti sapi atau babi. 

“Kerbau merupakan simbol penghormatan kepada umat Islam dan Hindu. Alangkah indahnya kenyataan yang dibungkus dengan kesadaran total bahwa kita semua mahluk Allah SWT, guna merajut persaudaraan dan perdamaian. Jadi filosopi Perang Topat yakni mempertahankna tradisi menjaga toleransi.

437