Jakarta, Gatra.com- Laporan terbaru dari lembaga audit internasional Ernst & Young (EY) mengungkapkan bahwa pendanaan bukan hambatan utama pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Investor sudah banyak yang menyatakan berminat, namun justru kurang dukungan kebijakan. Khususnya, untuk pengembangan pembangkit surya dan angin skala utilitas.
Laporan tersebut mengambil data dari 170 konsultasi dengan pengembang, pemberi pinjaman, investor, asosiasi industri, dan Direct Foreign Investment (DFI) untuk mendapatkan wawasan mengenai sembilan negara di Asia yang dianalisis, termasuk Indonesia.
Menurut penelitian ini, alih-alih mempermasalahkan pendanaan, investor yang tertarik untuk berinvestasi di energi terbarukan menghadapi kurangnya proyek yang layak karena ada hambatan dalam kebijakan dan proses.
Baca juga : Pondasi Arah Investasi JETP Diluncurkan, Gerak Cepat Menuju NZE
Baca juga : FRUSTASI PROGRAM TRANSISI ENERGI
Gilles Pascual, Energy Transition and Climate Partner di EY, menyatakan, Investor dan pemberi pinjaman tertarik pada pasar energi terbarukan Indonesia dan siap mengembangkan proyek dan berinvestasi.
“Namun ketergantungan pada pembangkit bahan bakar fosil di sektor ketenagalistrikan yang menyebabkan kelebihan pasokan listrik yang sangat besar di jaringan utama Jawa-Madura-Bali menghambat implementasi energi terbarukan,” kata Pascual dalam peluncuran laporan pada Kamis, 23 November 2023.
EY mengidentifikasi sejumlah hambatan non finansial yang mencakup panjangnya proses perizinan, kesulitan pembebasan lahan, kurangnya rantai pasokan lokal, dan persyaratan konten yang sulit dipenuhi. Semua faktor tersebut berdampak langsung terhadap risiko proyek, jangka waktu, biaya dan kelayakan bank secara keseluruhan sehingga memengaruhi persyaratan pembiayaan, dan membuat pinjaman menjadi lebih mahal.
Baca juga : BERHARAP TRANSISI ENERGI BERKEADILAN
Baca juga : ESDM Godok RUU EBET: Tangkis Emisi, Serap Peluang Nilai Ekonomi Karbon
Laporan EY menggarisbawahi bahwa faktor-faktor tersebut mungkin membatasi akses terhadap pendanaan yang tersedia, tergantung pada tingkat keparahan risikonya.
Hambatan khusus yang diidentifikasi untuk Indonesia meliputi:
• Pertumbuhan sektor tenaga surya dan angin sebagian besar masih bergantung pada penghentian dini pembangkit listrik tenaga batu bara (CFPP).
• Kurangnya kejelasan peraturan pengadaan dan prosedur tender.
• Tarif negosiasi yang rendah mempengaruhi bankability Power Purchase Agreement / PPA (perjanjian jual beli tenaga listrik)
Rekomendasi untuk mengatasi hambatan:
• Sinyal kebijakan yang kuat dan penghentian penggunaan batu bara secara tepat waktu untuk menarik minat pasar.
• Mendirikan badan khusus untuk memperlancar proses pengadaan tanah.
• Pengembangan model PPA untuk mengurangi jadwal negosiasi.
Untuk itu, lanjut Pascual, mendorong pertumbuhan energi terbarukan di Indonesia perlu memprioritaskan pengembangan jaringan listrik yang permintaannya belum terpenuhi. Apalagi ketika energi terbarukan lebih menguntungkan secara ekonomi ketimbang menggunakan diesel atau bahan bakar fosil lainnya.
Sedangkan untuk jaringan listrik utama di Jawa Bali, merancang solusi untuk memungkinkan penghentian dini pembangkit bahan bakar fosil adalah suatu keharusan agar pasar energi terbarukan dapat berkembang pesat.
Sementara menurut laporan International Energy Agency (IEA), Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang punya potensi peningkatan kapasitas tenaga surya dan angin hingga tiga kali lipat pada 2030. Indonesia juga memiliki sumber daya angin yang melimpah, yang telah memicu minat besar terhadap potensi pembangkit listrik tenaga angin lepas pantai di Indonesia, bersama dengan Jepang, Korea Selatan, Vietnam, dan Filipina.
Penggunaan sumber daya terbarukan di Asia dapat memberikan berbagai manfaat termasuk keamanan energi, pertumbuhan ekonomi, dan pengurangan emisi. Selagi perwakilan berbagai negara berkumpul di COP28 untuk membahas target tiga kali lipat kapasitas terpasang energi terbarukan pada 2030, Indonesia berkesempatan menciptakan lingkungan kebijakan dan peraturan untuk membuka investasi yang tertunda senilai miliaran dolar dan meningkatkan kemajuan menuju target energi terbarukan.