Gaza, Gatra.com - Jeda perang Israel-Hamas di Gaza akan dimulai pada Jumat pagi dan sandera pertama akan dibebaskan beberapa jam kemudian.
Mediator Qatar mengatakan setelah hampir tujuh minggu pertempuran, sebagaimana dilaporkan AFP, Kamis (23/11).
Keluarga sandera yang ditahan oleh Hamas di Gaza dan warga Palestina yang ditahan oleh Israel terpaksa menunggu satu hari ekstra, setelah terobosan perjanjian gencatan senjata empat hari ditunda.
Qatar, yang memfasilitasi kesepakatan gencatan senjata bersama dengan Mesir dan Amerika Serikat, mengatakan jeda akan dimulai pada Jumat pukul 07.00 (05.00 GMT) dengan “gelombang pertama”, yang terdiri dari 13 sandera sipil akan diserahkan sekitar sembilan jam kemudian.
Sayap bersenjata Hamas, Brigade Ezzedine al-Qassam, mengkonfirmasi gencatan senjata akan dimulai pada pukul 7:00 pagi berdasarkan kesepakatan, yang juga dimaksudkan untuk memberikan bantuan kepada 2,4 juta penduduk Gaza yang berjuang untuk bertahan hidup dengan kekurangan makanan, air dan bahan bakar.
“Gencatan senjata berlaku selama empat hari, dimulai Jumat pagi, disertai penghentian seluruh aksi militer dari Brigade Qassam dan perlawanan Palestina, serta musuh Zionis sepanjang periode gencatan senjata,” katanya.
Kantor Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan pihaknya telah melakukan kontak dengan keluarga para sandera setelah menerima "daftar nama pertama", bagi mereka yang akan dibebaskan. Namun tidak disebutkan siapa saja yang ada dalam daftar tersebut.
Alih-alih berhenti sejenak, pertempuran malah berkobar pada hari Kamis. Ledakan terdengar di siaran langsung AFPTV dan awan kelabu tebal melayang di utara wilayah tersebut, sebagian besar telah hancur menjadi puing-puing.
“Kami sudah berada dalam roller coaster emosional selama 47 hari. Hari ini pun demikian,” kata Eyal Kalderon, sepupu Ofer Kalderon, salah satu tawanan di Gaza.
Hamas dan kelompok bersenjata Palestina lainnya menyandera sekitar 240 sandera dalam serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya ke Israel pada tanggal 7 Oktober, yang menurut Israel menewaskan sekitar 1.200 orang, sebagian besar dari mereka adalah warga sipil.
Serangan tersebut memicu kampanye pemboman dan serangan darat Israel yang tiada henti di Gaza, di mana pemerintah Hamas mengatakan lebih dari 14.100 orang tewas.
Penasihat keamanan nasional Israel, Tzachi Hanegbi sebelumnya mengindikasikan pembebasan bertahap sedikitnya 50 sandera sebagai ganti 150 tahanan Palestina akan tetap dilakukan, namun tidak dilakukan sebelum hari Jumat.
Dari kedua pihak, peraturan tersebut akan membebaskan sebagian besar perempuan dan orang berusia 18 tahun ke bawah. Warga Palestina akan dibebaskan dari tiga penjara Israel.
Tiga orang Amerika, termasuk Abigail Mor Idan yang berusia tiga tahun, termasuk di antara mereka yang akan dibebaskan.
Pemerintah di seluruh dunia menyambut baik kesepakatan tersebut, dan beberapa pihak menyatakan harapan bahwa hal ini akan mengakhiri perang secara permanen.
“Ini tidak bisa hanya sekadar jeda sebelum pembantaian terjadi lagi,” Riyad Mansour, duta besar Palestina untuk PBB,
Namun para pejabat Israel mengatakan gencatan senjata itu hanya bersifat sementara.
“Kami tidak akan mengakhiri perang. Kami akan terus melanjutkannya sampai kami menang,” kata kepala staf Israel, Letnan Jenderal Herzi Halevi, kepada pasukan yang ia kunjungi di Gaza, menurut pihak militer.
Kesepakatan pembebasan itu dicapai setelah pembicaraan berminggu-minggu yang melibatkan Israel, kelompok militan Palestina, Qatar, Mesir dan Amerika Serikat.
Pemboman udara Israel berlanjut semalaman terhadap sasaran di Khan Yunis, Gaza selatan, dan mengirimkan bola api merah dan kuning serta asap hitam besar ke udara.
“Rumah-rumah warga terguncang beberapa kilometer jauhnya di Rafah,” kata wartawan AFP.
“Saya kira masih ada sekitar 20 orang di bawah reruntuhan,” kata seorang warga Palestina yang mencari korban selamat di bawah reruntuhan bangunan, di sebelah timur Khan Yunis.
“Ribuan anak-anak terbunuh di Gaza, dan dianggap tempat paling berbahaya di dunia bagi anak-anak,” kata Catherine Russell, direktur eksekutif dana anak-anak PBB, UNICEF, dikutip Arabnews.
Anak-anak muda termasuk di antara sekitar 1,7 juta warga Gaza yang, menurut PBB, harus meninggalkan rumah mereka selama pertempuran.
“Pasien rumah sakit juga terpaksa pindah, yang terakhir adalah 190 orang yang terluka dan sakit, bersama dengan rekan mereka dan tim medis, dari rumah sakit Al-Shifa pada hari Rabu,” kata Bulan Sabit Merah Palestina.
Di bawah tekanan untuk mendukung klaimnya bahwa Hamas memiliki pusat komando di bawah Al-Shifa, militer Israel pada hari Rabu mengawal wartawan ke sebuah terowongan yang menurut tentara adalah bagian dari jaringan militer bawah tanah Hamas yang luas.
Tentara membawa wartawan ke fasilitas bawah tanah yang dilengkapi AC, toilet, dan dapur kecil.
Hamas dan staf medis membantah bahwa pusat komando berada di bawah Al-Shifa, rumah sakit terbesar di Gaza.
“Pasukan Israel menangkap direktur Al-Shifa Mohammad Abu Salmiya dan personel medis lainnya,” kata dokter lain kepada AFP pada Kamis.
Sejak perang Israel-Hamas dimulai, baku tembak mematikan telah terjadi di perbatasan utara Israel, terutama antara Israel dan gerakan Hizbullah yang didukung Iran.
Bentrokan ini telah menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya konflik yang lebih luas.
Hizbullah mengatakan pada hari Kamis bahwa pemimpinnya, Hassan Nasrallah, bertemu dengan Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amir-Abdollahian untuk membahas “upaya yang dilakukan untuk mengakhiri agresi Israel terhadap Jalur Gaza”.
Hizbullah mengatakan pihaknya menembakkan 48 roket Katyusha ke pangkalan militer Israel utara. Tentara Israel membalasnya dengan menembaki beberapa lokasi di selatan, kata Kantor Berita Nasional Lebanon.
Di Laut Merah, kapal perusak USS Thomas Hudner “menembak jatuh beberapa drone serang satu arah yang diluncurkan dari wilayah yang dikuasai Houthi di Yaman”. Komando Pusat Amerika Serikat melaporkan merujuk pada kelompok pemberontak yang didukung Iran.
Pengungsi Gaza masih skeptis terhadap kesepakatan Israel-Hamas.
Fatima Achour, seorang pengacara Palestina berusia 40-an, menangis ketika dia mencapai Mesir melalui perbatasan Rafah, dan menjadi salah satu dari sedikit warga Gaza yang diizinkan pergi karena dia memiliki paspor asing.
"Tidak ada kota untuk kembali... Tidak ada rumah. Hidup kami telah berakhir," katanya. “Gencatan senjata ini bukan untuk kita.”