Purworejo, Gatra.com - Wajah manis Salsabila Putri Aulia selalu ceria, seperti tak pernah ada beban hidup yang harus ditanggung. Gadis 17 tahun ini harus menjadi tulang punggung, dan ikut mencari nafkah mengurus keluarganya sejak kecil.
Bersama sang nenek (70 tahun) yang dipanggilnya mamak, harus bekerja keras membanting tulang agar kebutuhan keluarganya tercukupi. Saat remaja lain bersenang-senang, kongkow di cafe-cafe atau sekadar di tempat jual seblak, Salsa harus berkutat mengurus pamannya yang sakit akibat penyakit diestonia.
Setiap pagi, sebelum berangkat sekolah ke SMKN 8 Purworejo di Desa Bajangrejo, Kecamatan Banyuurip, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah ini harus bangun pagi untuk memasak dan memersiapkan kebutuhan keluarganya. Siswi kelas 12 Jurusan Tata Busana ini tinggal dengan nenek, dua paman yang sakit (satu orang lumpuh total) serta adik sepupu yang masih kelas 4 SD.
"Tiap pagi saya bangun jam 04.00 kadang 04.30 WIB, Subuhan (salat Subuh), kemudian masak untuk sarapan adik, juga untuk makan paman-paman dan Mamak. Terus cuci piring, kasih makan ayam, setelah itu mengganti baju paman (yang lumpuh), nyiapin sarapan buat adik, setelah itu berangkat sekolah. Pulang sekolah, sore saya nyuci, termasuk nyuci perlak yang dipakai paman," kata Salsabila saat ditemui di sekolahnya, Kamis (23/11).
Meskipun kondisinya sulit, Salsa tak pernah mengeluh. Bahkan ia dikenal sangat ceria dan mengikuti banyak aktivitas di sekolahnya, mulai dari OSIS hingga kelompok pecinta alam.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Salsa dan neneknya membuat jajanan keripik pare dan rengginang. Jajanan itu mereka titipkan untuk dijual di Yayasan Embun Surga.
Untuk biaya sekolah SMK gratis, ia juga mendapat bantuan dari UPZ (Unit Pengumpul Zakat) Provinsi Jawa Tengah sebanyak Rp200 ribu tiap bulannya. Salsa juga mendapat bantuan PIP dari pemerintah juga mendapat bantuan dari GNOTA lewat guru-guru di sekolahnya.
Namun, diakui gadis ramah ini, jika hasil jualan keripik pare dan rengginang tidak bisa mencukupi kebutuhan makan sehari-hari untuk 5 orang anggota keluarganya. Dengan polos, ia bercerita kadang terpaksa harus 'hutang' ke tukang sayur.
"Saya sebenarnya nggak suka hutang, kalau lagi nggak ada uang ya saya 'bruwun' (memetik sayuran) yang ada di sekitarnya. Di halaman itu banyak bayam yang tumbuh, kadang juga minta daun ketela tetangga. Kalau mangga dan kelapa berbuah, bisa saya jual uangnya buat belanja, sangu adik," ujar Salsa polos.
Tak ada Bullying
Salsabila mengaku sudah menjadi kebiasannya untuk makan tanpa lauk, hanya nasi dan sayur seadanya. Semua itu dilakoni tanpa mengeluh atau menyalahkan siapa pun atas kondisi keluarga.
"Tadi pagi saya masak tahu oseng campur kol, lauknya telur. Kemarin kan dapat bantuan telur dari Pak Polisi (Satreskrim Polres Purworejo). Alhamdulillah dapat dua kresek telur, bisa untuk lauk. Saya selalu masak sejak kelas 8, soalnya kan waktu itu mikir, adik dah mau masuk SD, kasihan kalau nggak sarapan. Pertamanya susah bangun pagi, lama-lama terbiasa," ujar Salsa yang rajin berpuasa ini.
Sebenarnya, Salsa juga sering merasakan sakit di punggungnya. "Pernah periksa ke RSUD Tjokronegoro, kata dokter didiagnosis penyempitan saraf atau apa istilahnya saya lupa. Harus terapi, tapi saya waktu itu kan sedang PKL, jadi sampai sekarang belum bisa terapi," tutur Salsa.
Untuk pergi periksa ke dokter pun ia harus sendiri, mulai minta rujukan ke Puskesmas hingga ke rumah sakit. Di usianya yang masih muda, ia harus berkutat dengan kerasnya kehidupan.
Sejak usia 2,5 tahun, sang ibu, Catur Nur Fidiana telah berpulang. Sedangkan ayah kandungnya telah meninggalkan keluarga sejak dia belum dilahirkan.
Guru BK SMKN 8, Esti Yuwanti mengatakan, ada hal yang harus diluruskan karena video viral yang diupload di sebuah akun IG purworejo narasinya dianggap merugikan pihak sekolah.
"Tidak ada bullying, tapi di video kan ada narasi pernah dibully. Dalam video kan pakai seragam sekolah (putih abu-abu) netizen kan taunya dibully oleh teman-temannya di SMK. Padahal Salsa tidak dibully, mungkin pernah mendapat perlakuan tidak mengenakkan waktu SMP, tapi tidak saat SMK," tutur Esti, yang mendampinginya selama wawancara.
Menurut Esti, Salsa juga anak yang aktif di kegiatan sekolah, ikut OSIS dan Hasta Pala (pecinta alam SMKN 8), tidak pernah mengeluh. Salah satu pamannya yang menjadi difabel akibat penyakit genetik distonia adalah Muchammad Khoirul Anwar (30) juga alumni SMKN 8.
"Biaya pendidikan Salsa kan gratis. Kalau dia butuh untuk praktek tata busana, kami bantu dengan program GNOTA," ujar Esti.
Kini yang terpenting bagi Salsa, katanya, dia harus mampu menyelesaikan sekolahnya dan segera mendapat pekerjaan untuk menopang kehidupan keluarganya. Jika bisa, gadis yang beralamat di Dusun Krajan, Desa Tegalkuning, Kecamatan Banyuurip tersebut bekerja di Purworejo, sehingga ia masih bisa mengurus nenek, kedua paman dan adik sepupunya.