Home Lingkungan Punya Kopi Luwak Bikin Kaltim Naik Kelas, Program Sukses CSR PHKT

Punya Kopi Luwak Bikin Kaltim Naik Kelas, Program Sukses CSR PHKT

Marangkayu, Gatra.com - Tak terbayang sebelumnya, kopi jenis liberika yang dikonsumsi luwak liar dan ditanam sendiri oleh Rindoni, pria asal Lamongan ini bakal benar-benar menghasilkan, bahkan mendapat banyak minat dari masyarakat sekitar, termasuk Bupati Kutai Kartanegara, Edy Darmansyah yang berkunjung ke Desa Pragat Baru pada tahun 2020.

“Saat kami kedatangan Pak Bupati di tahun 2020, beliau mencicipi kopi dan bilang kopi kami ini enak. Itu pertama kali pejabat bilang kopi kami enak, rasanya lain dibandingkan dengan kopi-kopi yang pernah beliau rasakan,” kenang Rindoni kepada Gatra.com di rumahnya, Dusun Mukti Raya, Desa Pragat Baru, Kecamatan Marangkayu, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Selasa (14/11/2023).

Tak menyangka di Kalimantan Timur bisa tumbuh dan menghasilkan kopi luwak dengan cita rasa yang enak, mendorong Bupati Edy agar warga di sini terus mengembangkan kopi luwak tersebut. Pemerintah Daerah (Pemda), kata Rindoni, secara sigap membantu warga dengan ikut mengenalkan kopi luwak ini ke sejumlah stakeholder, termasuk kepada Pertamina Hulu Kalimantan Timur (PHKT).

PHKT pun merespon cepat usulan Pemda dan ikut membantu penyediaan pupuk organik bagi warga. “Tak hanya pupuk, pihak PHKT juga terus memberikan support dengan membentuk kelompok tani agar ke depan bisa terus berkembang lebih baik lagi. Kami juga terus didorong agar bisa menjadi penyuplai kebutuhan kopi di Kaltim dan juga luar Kaltim,” papar pria 55 tahun ini.

Kopi luwak yang ditanam oleh para petani karet di Desa Pragat Baru ini membuat PHKT akhirnya memberikan CSR kepada mereka. Rindoni ditunjuk sebagai Ketua Kelompok Tani Kampung Kopi Luwak Desa Pragat Baru (KAPAK PRABU) pada 2020.

Jika pada awalnya PHKT hanya memberikan pupuk organik, bantuan kemudian terus dikembangkan dalam proses CSR perusahaan. “Oleh PHKT, kami dibantu peningkatan SDM-nya, dibantu pelatihan dan juga diberangkatkan ke Malabar Mountain untuk pelatihan dan mengenal lebih lanjut seputar kopi. Kami juga dibantu pengembangan pembibitan, normalisasi sungai, hingga diberikan alat roasting agar kopi yang dihasilkan lebih memiliki cita rasa dan kualitas yang diinginkan oleh penikmat kopi,” cerita Rindoni.

Tak berhenti sampai di situ, PHKT juga memberikan informasi berkala melalui media maupun rekanannya tentang kopi luwak serta bantuan pemasaran. “Kami juga diikutkan pameran-pameran oleh PHKT,” tambahnya.

Semenjak adanya pendampingan dan bantuan dari PHKT, Kampung Kopi Luwak Desa Pragat Baru naik kelas. Jika sebelumnya tanaman kopi hanya ditanam untuk konsumsi pribadi para transmigrant asal Jawa yang punya kebiasaan mengonsumsi kopi di daerah asalnya, kini Kalimantan Timur berhasil kembangkan kopi sendiri, apalagi kopinya dari kopi luwak liar di mana harga per kilogram kopi bisa mencapai Rp450 ribu per kilogram.

Rindoni menyebut saat ini kopi luwak dari Kampung Pragat Baru sudah banyak dikonsumsi di Kalimantan Timur. Bahkan sudah ada tamu dari 6 negara yang datang ke sini untuk tahu lebih lanjut soal kopi dari luwak liar ini.

“Saat ini pasar kopi lumayan merata untuk pasar dalam negeri. Kalau dari luar negeri, kami sudah didatangi tamu dari 6 negara seperti dari Belanda, Spanyol, Italia, Malaysia, Hong Kong untuk melihat dan mencari tahu.”

“Bantuan yang diberikan PHKT sudah dirasakan betul oleh masyarakat. Desa kami yang sebelumnya tidak dikenal, kini jadi semakin dikenal banyak orang. Dengan adanya kopi luwak, desa kami jadi dikenal se-Kalimantan dan jadi pembicaraan,” pungkas Rindoni, tersenyum.

Program CSR PHKT

Kapak Prabu jadi program CSR PT Pertamina Hulu Kalimantan Timur Daerah Operasi Bagian Utara (PHKT – DOBU), salah satu anak perusahaan PT Pertamina Hulu Indonesia (PHI). Kapak Prabu merupakan program budi daya kopi liberika dan kopi luwak liar sejak tahun 2020. Program Kapak Prabu terus dikembangkan hingga kini menjadi kampung ekologi.

Head of Communication, Relations, & CID (CRC) PHKT Zona 10 Dharma Saputra menuturkan, konsep kampung ekologi ini diharapkan dapat memberikan dampak sosial dan ekonomi yang lebih luas.

“Konsep kampung ekologi kita usung agar masyarakat tidak hanya dapat menikmati hasil atau produk Kopi Liberika dan Kopi Luwak saja, tapi juga bisa mempelajari ilmu dari mulai tata cara pembibitan hingga penyajian kopi, termasuk juga di dalamnya cara melakukan konservasi luwak, lebah kelulut, dan lainnya. Tentunya, semua proses tersebut dilakukan dengan mengedepankan prinsip ramah lingkungan,” jelasnya.

Terkait kebermanfaatan program yang semakin meluas, Rindoni menjelaskan hingga tahun 2022, Kapak Prabu telah menanam 29.000 bibit kopi liberika di atas lahan seluas 30 hektar. Selain milik Rindoni, area tanah tersebut dikelola oleh 34 petani kelompok Kapak Prabu lainnya. “Saat ini, puluhan warga dari dua tetangga desa Prangat Baru yaitu Desa Prangat Selatan dan Desa Makarti juga telah bergabung dan mereplikasi budi daya Kopi Liberika di wilayah mereka,” tambahnya.

Dalam perjalanan mewujudkan kampung ekologi, PHKT terus memberikan pendampingan dan pengembangan kepada Kapak Prabu. Tidak hanya di bidang kopi, akan tetapi juga penerapan teknologi ramah lingkungan, konservasi, hingga wisata.

“Berkat pendampingan dan pengembangan yang didukung oleh PHKT, selama beberapa tahun ini sudah cukup banyak tamu yang berkunjung dan belajar di Kapak Prabu, baik dari pemerintahan, lembaga, perusahaan hingga universitas di tingkat lokal, nasional, maupun internasional,” sambung Rindoni.

Manager Communication Relations & CID PHI, Dony Indrawan menyatakan, PHI dan seluruh anak perusahaan dan afiliasinya berkomitmen untuk terus meningkatkan kapasitas serta kemandirian seluruh mitra binaan. Hal ini dibuktikan dengan terus dilakukannya upaya pendampingan serta dukungan berupa pengembangan kapasitas moril maupun materil kepada mitra binaan.

"Kami memilih strategi community development, dimana pengembangan kelembagaan kelompok merupakan kunci untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakaat mitra binaan secara berkelanjutan. Kami terus menjalin diskusi dan kerja sama terkait pengembangan program Kapak Prabu agar kebermanfaatannya dapat dirasakan secara luas di masyarakat," ujarnya.

Terkait pengembangan madu, Rindoni menambahkan, “Selain alat-alat petanian yang diberikan oleh PHKT, ada pengembangan madu yang saat ini sudah mulai menghasilkan. Alhamdulillah, saat ini madunya per 250ml dibeli orang-orang seharga Rp150 ribu.”

PHKT terus menjalankan berbagai program CSR yang mendukung pengembangan dan kemandirian masyarakat, selaras dengan upaya pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs). “Selain pendampingan, kami juga memberikan bantuan berupa alat pemanggang kopi (coffee roaster) dan memasang solar panel di rumah produksi kopi sebagai bagian dari komitmen kami dalam mengusung kegiatan ekonomi yang inovatif dan mendukung green energy, “ imbuh Dony.

Selama Program Kapak Prabu berjalan, program ini tidak hanya mampu menghasilkan nilai tambah ekonomi saja, namun juga mampu memberikan kontribusi terhadap serapan karbon sebesar 266,5 ton CO2 dan pelepasan 416 ton gas O² equivalent melalui program pelestarian lingkungan yang menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan.

Perjalanan Program Kapak Prabu dimulai dari kerja sama antara Terminal Santan PHKT yang memberikan bantuan pupuk kompos hasil biogreening kepada Kelompok Petani Kopi Desa Prangat Baru. Biogreening sendiri merupakan fabrikasi sisa bahan baku limbah dapur non B3 yang diperoleh dari katering Terminal Santan.

Kerja sama tersebut berlanjut hingga pengembangan budi daya Kopi Liberika dan Kopi Luwak satu-satunya di Kalimantan Timur. Seiring berjalannya waktu, potensi Kapak Prabu ini bertumbuh menjadi kampung ekowisata ditandai dengan dibentuknya kelompok sadar wisata (Pokdarwis) Desa Prangat Baru.

Sejak dicetuskannya program Kapak Prabu, pola pikir masyarakat sekitar terhadap keberadaan hewan luwak secara perlahan mengalami perubahan. Awalnya masyarakat setempat selalu menganggap luwak sebagai hama pemakan ternak ayam milik warga.

“Dengan adanya pengembangan Kapak Prabu menjadi kampung ekologi, paradigma masyarakat terhadap luwak juga telah berubah. Kini masyarakat percaya bahwa luwak harus dilindungi kelestariannya, karena menghasilkan hubungan yang mutual sekaligus nilai ekonomi tinggi dari biji kopi yang dimakannya,“ tutup Dony.

109