Jakarta, Gatra.com – DPP Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) menggelar rapat kerja nasional (Rakernas) 2023 bertajuk “Melalui Rakernas IKADIN 2023, IKADIN memperkokoh kedudukan Peradi sebagai satu-satunya Organisasi Advokat” di Jakarta, Jumat (17/11).
Ketua Umum Ikadin, Adardam Achyar, menyampaikan, Rakernas kali ini membahas berbagai program dan evaluasi, termasuk persoalan hukum terkini di Tanah Air, di antaranya soal wadah tunggal (single bar) organisasi advokat dan pendirian Dewan Advokat Nasional (DAN) yang kembali muncul.
Adardam menjelaskan, pihaknya masih memperjuangkan single bar karena meski secara de jure hanya ada satu wadah tunggal yakni Peradi, namun nyatanya masih banyak organisasi advokat yang menjalankan kewenangan negara yang hanya diberikan kepada Peradi sebagaimana UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Selain itu, kata Adardam didampingi Sekjen Rivai Kusumanegara dan Ketua Harian Suhendra Asido Hutabarat, wacana pemerintah dalam hal ini Menkopolhukam melalui Tim Percepatan Reformasi Hukum akan membentuk DAN sangat janggal.
“Menurut kami, ini tidak sejalan dan bertentangan dengan Undang-Undang Advokat yang mengatur dan memastikan bahwa hanya ada satu organisasi advokat, dalam hal ini single bar [Peradi],” ujarnya.
Senada dengan Adardam, Ketua Dewan Penasihat Ikadin, Prof. Otto Hasibuan, menyampaikan, DEN akan membuat advokat tidak independen karena akan di bawah kendali pemerintah.
“Kalau sampai itu terjadi, berarti advokat itu berada di dalam kekuasaan pemerintah, dia bisa dikontrol pemerintah. Yang jadi korban itu adalah pencari keadilan, klien-klien kita ini, masyarakat,” ujarnya.
Sementara itu, mantan Hakim Agung, Prof. Gayus T. Lumbuun selaku narasumber dalam seminar yang dihelat dalam Rakernas ini, mengatakan, single bar tapi rasa multibar ini gegerara Surat Mahkamah Agung No. 73 Tahun 2015, sehingga Pengadilan Tinggi (PT) bisa mengambil sumpah calon advokat di luar dari Peradi.
“Surat Ketua Mahkamah Agung yang menjadi cikal bakal persoalan sehingga menjadikan provokasi menurut saya, ini membangkang,?” ujarnya.
Ia menegaskan, surat tersebut mengangkangi UU Advokat serta putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tegas menyatakan bahwa hanya ada wadah tunggal organisasi advokat, yakni Peradi.
Dengan demikian, kata dia, organisasi lain di luar Peradi yang menjalankan kewenangan negara, seperti mengangkat advokat adalah ilegal. “Adanya organisasi advokat yang lain, tentu ini bertentangan dengan UU Advokat dan putusan MK,” ujarnya.
Pembicara selanjutnya, Wakil Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, menyampaikan, single bar adalah alternatif yang terbaik dan menjadikan advokat dan organisasinya setara dengan penegak hukum lainnya.
“Daya tawar kita [advokat] akan semakin lemah kalau konsepnya tidak single bar, karena sulit sekali kita mencari standar, baik individu maupun organisasinya. Jadi politik hukum kita mendorong single bar,” ujarnya.
Sedangan dua narasumber lainnya, yakni Dosen Fakultas Hukum (FH) Univesitas Islam Indonesia (UII), Dr. Muhammad Arif Setiawan; dan Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Dr. Fahri Bachmid, menyatakan, single bar sudah final karena UU Advokat menyatakan demikian. Ini hanya tinggal implementasinya yang masih bertentangan.
Ikadin Konsisten Dukung Peradi dan Single Bar
Ketua Umum (Ketum) DPP Ikadin, Adardam Achyar, menyampaikan, pada Rakernas 2023 ini, Ikadin sebagai salah satu pendiri Peradi, tetap dan akan selalu konsisten mendukung Peradi sebagai satu-satunya organisasi advokat (single bar) sebagaimana yang dimanatkan oleh UU No. 18 Tahun 2003 tenang Advokt dan telah diberikan penguatan konstitusional dalam beberapa putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Ikadin mendukung single bar dengan alasan dan tujuan agar terdapat standardisasi dalam bidang Pendidikan Advokat, Ujian Advokat, Pengangkatan Advokat, Pengawasan Advokat, dan Penindakan Advokat,” ujarnya.
Ia menjelaskan, tidak dapat dibantah lagi bahwa Surat Mahkamah Agung No. 73 Tahun 2015 telah membuka pintu selebar-lebarnya kepada setiap organisasi yang mengaku sebagai organisasi advokat untuk boleh mengusulkan pengambilan sumpah atau janji advokat ke Pengadilan Tinggi (PT).
Fatalnya, itu tanpa ada kejelasan tentang keberadaan organisasi advokat hingga kualitas atau mutu pendidikan dan ujian advokat. Ini telah menimbulkan dampak yang serius terhadap kualitas dan integritas advokat karena mengakibatkan tidak ada pengawasan dan penindakan terhadap advokat yang melanggar etik.
“Kiranya saat ini hanya Peradi yang dipimpin oleh Prof. Dr. Otto Hasibuan, S.H., M.M yang masih tetap konsisten dalam menjaga mutu penyelenggaraan pendidikan advokat, ujian advokat, selektif dalam pengangkatan advokat, terus menerus melaksanakan pengawasan dan penindakan terhadap advokat yang bermasalah secara etik dan secara berkala, serta melaporkannya kepada Mahkamah Agung (MA).
Adardam lebih lanjut menjelaskan, sesuai dengan AD/ART Ikadin, Rakernas adalah forum yang dihadiri oleh pengurus DPP Ikadin, Utusan DPC Ikadin se-Indonesia, Dewan Penasihat, Dewan Kehormatan, dan undangan. Saat ini, ada 168 Dewan Pimpinan Cabang Ikadin di seluruh Indonesia.
Rakernas juga membahas evaluasi terhadap implementasi Program Kerja Ikadin dan menetapkan program ke depannya sesuai dengan kebutuhan organisasi Ikadin dan kondisi serta tantangan advokat dalam menjalankan profesinya sebagai penegak hukum.
“Di samping itu juga akan dibahas dan dirumuskan sikap Ikadin terhadap kondisi dan kualitas penegakkan hukum saat ini yang bertalian dengan keadilan, kepastian hukum, Hak Asasi Manusia, dan kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujarnya.
Pelaksanaan program yang akan dievaluasi dalam Rakernas ini berkaitan dengan konsolidasi organisasi dalam bentuk antara lain pembentukan dan penguatan Cabang-Cabang Ikkadin di seluruh Indonesia, dengan tujuan agar keberadaan Ikadin sebagai organisasi advokat dan perjuangan dapat dirasakan oleh masyarakat pencari keadilan, dalam bentuk memberikan bantuan hukum yang profesional, merakyat, serta berintegritas dan berkeadilan.
“Advokat Ikadin tidak boleh terjebak atau larut dalam suasana paradigma hedonis yang berpotensi menjadi berjaraknya advokat dengan masyarakat kecil pencari keadilan,” katanya.
Rakernas juga akan membahas pola dan strategi untuk merekrut advokat muda (advokat generasi melenial) untuk kemudian dapat diberikan pemahaman dan ditanamkan kesadaran agar menjadi advokat jangan hanya semata-mata untuk mendapat honorarium atau fee, tetapi pada saat yang sama juga tidak boleh abai memberikan bantuan hukum dan penyuluhan hukum kepada masyarakat kecil yang mendapat kesulitan untuk memperoleh akses hukum dan keadilan.
“Ikadin juga menyoroti semakin merosotnya moral dan integritas penegak hukum yang terjadi dari pertengahan tahun 2022 sampai dengan saat ini,” ujarnya.
Ia mengungkapkan beberapa kasus yang benar-benar telah menjadi sorotan publik dan mengusik rasa keadilan masyarakat, antara lain kasus jenderal polisi yang terlibat dalam pembunuhan anak buahnya dan jenderal polisi yang terlibat jaringan peredaran Narkoba.
Kemudian, beberapa orang hakim agung, hakim, dan advokat terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK dalam kasus suap pengurusan perkara, dan ada Guru Besar Hukum (pakar hukum pidana) yang juga Wakil Menteri Hukum Dan HAM yang menjadi tersangka perkara gratifikasi atau suap, sampai dengan terakhir 9 orang Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dinyatakan melanggar Kode Etik Hakim KM oleh Majelis Kehormatan MK.
“Tentunya tidak pernah kita bayangkan sebelumnya, jika sekarang Mahkamah Konstitusi yang merupakan pengawal konstitusi (the guardian of constitution) dinakhodai oleh 9 Hakim MK yang telah tercela secara etik,” ujarnya.
Adardam menyampaikan, Ikadan mengharapkan Pemerintah dan legislatif (DPR) jangan hanya terjebak dalam rutinitas menyusun UU terkait dengan korupsi dan dari waktu ke waktu menyusun undang-undang yang bersifat kriminalisasi, yang kesemuanya ternyata telah terbukti tidak mampu memberantas dan menekan kasus korupsi.
Alih-alih memberantas dan menekan kasus korupsi, justru sekarang semakin hari kasus korupsi semakin meningkat, merajalela, mulai dari kerugian negara puluhan juta sampai dengan triliunan rupiah, mulai dari pegawai rendahan sampai dengan pejabat tinggi negara, terutama pejabat tinggi di lingkungan penegak hukum.
Sudah saatnya kini pemerintah dan DPR merumuskan dan menyusun peraturan perundang-undangan yang subtansinya berkaitan dengan pembangunan mental dan moral yang dapat meningkatkan kejujuran dan budaya malu. Jangan hanya berpaku kepada penindakan, tetapi harus secara sungguh-sungguh dimulai dari upaya pencegahan.