Jakarta, Gatra.com - Staf Ahli Bidang Hukum Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, Sundoyo mengatakan, setiap tahunnya Indonesia mengeluarkan Rp 600 miliar untuk membiayai program internship para lulusan pendidikan kedokteran. Namun, usai lulus internship, dokter-dokter ini tidak bisa ditugaskan untuk mengisi kebutuhan di daerah.
“Tapi, setelah dia internship itu selesai, kita ingin mendorong ke daerah-daerah yang masih belum tersedia dokternya itu, itu gak ada dasar hukumnya, aneh itu,” ucap Sundoyo dalam diskusi bertema “RPP Kesehatan: Substansi Strategis untuk Mewujudkan Kesehatan Berkeadilan” yang diadakan oleh Asosiasi Analisis Kebijakan Indonesia (AAKI) secara daring pada Jumat (17/11).
Berdasarkan undang-undang pendidikan kedokteran, mereka yang baru lulus belum bisa langsung membuka praktek secara mandiri. Untuk itu pemerintah, melalui Kemenkes, membantu agar para lulusan kedokteran bisa mendapat ilmu tambahan sehingga dapat membuka prakteknya sendiri di kemudian hari.
Sundoyo mengatakan, biaya untuk meningkatkan kemahiran para lulusan kedokteran ini tidak kurang dari Rp 600 miliar setiap tahunnya. Biaya ini diambil dari APBN yang merupakan uang rakyat.
“Masyarakat yang sudah membiayai memahirkan adik-adik kita tadi, gak bisa dapat manfaatnya. Sistem ini yang aneh sebenarnya dan harus dilakukan perubahan,” kata Sundoyo.
Terkait keterbatasan tenaga ahli dan dokter, Sundoyo juga menyinggung soal keberadaan tenaga ahli dari luar negeri. Seperti yang diketahui, banyak dokter dan tenaga kesehatan dalam negeri yang khawatir akan rencana Kemenkes untuk membuka kesempatan bagi tenaga ahli asing agar bisa praktek di Indonesia.
“(Sebelum masuk, ) dilakukan uji kompetensi dan evaluasi, bahkan rumah sakit juga harus menyediakan pendamping, tujuannya apa? Untuk transfer of knowledge. Dan, dia juga hanya dibatasi dua tahun,” jelas Sundoyo.
Namun, Sundoyo juga mempertanyakan mengapa tenaga ahli luar tidak boleh berpraktek di Indonesia. Warga negara Indonesia yang belajar di luar negeri pun diperbolehkan untuk berprakterk di tempat mereka belajar. Sundoyo menilai dualitas ini adalah suatu keanehan yang perlu dipertimbangkan ulang.
Bukan hanya tenaga ahli asing, WNI yang merupakan lulusan luar negeri juga sulit mendapatkan izin praktek di Indonesia.
“Padahal yang terjadi saat ini WNI (belajar ke ) luar negeri itu tidak semua dibiayai oleh kantong pribadinya. Tapi, mereka juga memanfaatkan beasiswa LPDP yang itu juga adalah dari APBN dan APBD, yang dipungut dari masyarakat,” kata Sundoyo lagi.
Sundoyo mengatakan hal ini perlu dibenahi dan dipermudah untuk kebaikan masyarakat.
“Ketika orang ini sudah pinter, sudah masuk ke Indonesia, memberikan pelayanan ke masyarakat yang membiayai dia, susah juga. Ini yang kita coba untuk relaksasi perizinannya,” ujar Sundoyo.