Jakarta, Gatra.com - Petani dan pekerja tembakau dari seluruh nusantara menyuarakan ketidakpuasannya atas sejumlah ketentuan dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Undang-Undang Kesehatan yang dianggap merugikan sektor pertembakauan.
Oleh karena itu, Gerakan Petani Nusantara (GPN) dan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) menyelenggarakan sebuah kegiatan Dialog Interaktif bertema "Telaah RPP Pelaksanaan UU Kesehatan Pasal Pengamanan Zat Adiktif (Tembakau): Petani Tembakau Menolak!" untuk mendengarkan pandangan langsung dari kalangan terdampak.
Para petani dan pekerja menyoroti tembakau sebagai pilar keberlangsungan hidup dan mata pencaharian bagi jutaan orang. Dalam sebuah proklamasi yang kuat, mereka menekankan bahwa kebijakan pemerintah perlu mempertimbangkan dampak ekonomi dan sosial yang dapat terjadi akibat larangan dan restriksi yang tercantum dalam draft RPP. Selain sebagai produk legal, tembakau dianggap memiliki peran strategis dalam mendukung perekonomian nasional.
Direktur P3M, Sarmidi Husna menyampaikan penolakan terhadap RPP Undang Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan Bagian Pengamanan Zat Adiktif (tembakau dan rokok). Penolakan ini didasari adanya draft pasal-pasal yang merugikan petani tembakau dan pekerja di sektor pertembakauan.
Di antaranya, pertama masalah aturan pelarangan menjual rokok secara terbuka. Padahal rokok merupakan produk legal bukan produk ilegal seperti narkotika/psikotropika atau minuman keras. Kedua, larangan iklan dan sponsorship terhadap kegiatan sosial keagamaan.
Ketiga, terdapat rekomendasi untuk dilakukan alih tanam tebakau ke komoditas lain. Padahal lahan yang ditanami tembakau seperti daerah Temanggung, Magelang, Jember, Madura, dan lain-lainnya memiliki spesifikasi sendiri yang tidak cocok untuk tanaman lain.
Keempat, terdapat rekomendasi penurunan standar tar dalam rokok, kalau ini terjadi maka akan terjadi larangan membeli tembakau lokal. Pasalnya, kadar tar dalam tembakau lokal cukup tinggi, sehingga akan terjadi impor tembakau untuk memenuhi kebutuhan produksi industri rokok.
Draft RPP Kesehatan yang di dalamnya mengatur tentang tembakau dan rokok tersebut, saat ini sudah berada di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI untuk dilakukan harmonisasi.
"Kalau Kemenkumham menyetujui RPP tersebut, dampaknya akan sangat dirasakan mulai dari petani sampai ke penjual rokok. Karena itu, kita tolak pasal-pasal RPP Kesehatan terkait zat adiktif yang di dalamnya mengatur rokok dan tembakau," kata Sarmidi Husna dalam keterangannya yang diterima pada Jumat (17/11).
Pada intinya, kekhawatiran muncul terkait pasal-pasal dalam draft RPP yang dianggap eksesif dan berpotensi merugikan industri tembakau. Larangan menjual, mengiklankan, dan mempromosikan produk tembakau di berbagai media, serta dorongan untuk diversifikasi tanaman, menjadi poin kontroversial yang mendapat penolakan keras dari para petani.
Mereka menilai bahwa RPP ini tidak hanya menempatkan tembakau pada posisi yang merugikan, tetapi juga dapat menghilangkan mata pencaharian sekitar 6 juta masyarakat Indonesia yang terlibat dalam ekosistem pertembakauan nasional.
Anggota Komisi IV DPR RI, Panggah Susanto mengatakan dirinya siap mengawal RPP Kesehatan pasal tembakau ini. Ia menyetujui, apabila RPP ini disahkan dampaknya akan dirasakan lebih dari 6 juta orang yang bekerja di sektor pertembakauan.
"Banyak sekali pihak yang terkait masalah tembakau ini. Ada 2 juta petani tembakau, 1,5 juta petani cengkeh, 6 ribu karyawan industri tembakau, 2 juta pelaku ritel dan distribusi," jelasnya.
Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Tengah, Nurtianto Wisnubroto menyebut bahwa saat ini para petani tembakau sedang dihantui aturan RPP Kesehatan pasal tembakau. Dalam aturan tersebut, nantinya satu bungkus rokok minimal berisi 20 batang.
"Oleh Pemerintah, rokok dianggap masih terlalu murah, apalagi perbandingannya dengan Singapura yang harganya kalau dirupiahkan menjadi sekitar Rp140 ribu. Dengan aturan baru nanti, harga rokok menjadi sekitar Rp45 ribu. Tapi pemerintah lupa, UMR di Singapura itu Rp50 juta, sementara di Indonesia rata-rata hanya Rp2,7 juta. Jauh sekali perbandingannya," tutur Wisnu.
Pendapat senada juga diungkapkan Wakil Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman (FSP RTMM) Andreas Hua. Menurutnya, RPP Kesehatan yang menyangkut zat adiktif akan membuat harga rokok semakin tinggi. Hal ini tentu berdampak pada banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK).
"Yang paling terasa dampaknya adalah di industri rokok. Kalau rokok tidak laku, para pekerja akan terkena PHK. Karena itu, FSP RTMM dengan tegas menolak RPP Kesehatan pasal tembakau ini," ucapnya.
KH. Ubaidillah Shodaqoh, Rais Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah juga mengungkapkan keresahannya terhadap RPP tersebut. Menurutnya, RPP Kesehatan sudah masuk kategori mengharamkan apa yang dihalalkan Allah.
"Keresahan bersama terkait RPP Kesehatan. Menempatkan perokok seolah-olah manusia hina. Tembakau atau rokok itu barang halal, kenapa sampai harrama ma ahallalloh (mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Alloh) terkait tembakau atau rokok? Ini yang tidak benar," ucapnya.
Ia menyebut, 70% masyarakat NU Jawa Tengah berprofesi sebagai petani, kebanyakan adalah petani tembakau. Jika RPP tersebut disahkan, maka yang menjadi korban adalah warga NU.
"Dan kebanyakan perokok itu umurnya lebih panjang, itu fakta di lapangan. Kebanyakan yang punya penyakit berat justru adalah bukan perokok. Jadi sangat naif sekali kalau rokok dijadikan alasan menjadi penyebab penyakit atau kematian," ujarnya.
Dialog interaktif ini juga menyoroti ketidaksesuaian antara draft RPP Kesehatan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang mengkategorikan produk tembakau sebagai produk legal. Petani menegaskan hak ekonomi, sosial, dan budaya mereka, serta mencerminkan keberatan mereka terhadap lemahnya political will pemerintah dalam melindungi sektor pertembakauan.
Mereka menunjukkan bahwa sebagai produk yang telah dinyatakan legal oleh Mahkamah Konstitusi, tembakau perlu diatur, bukan dilarang sepenuhnya.
Melalui dialog ini, diharapkan pandangan dan keberatan yang diutarakan para petani dapat memengaruhi proses penyusunan regulasi. GPN dan P3M berharap bahwa suara mereka dapat membawa perubahan positif bagi keberlangsungan sektor pertembakauan dan kesejahteraan masyarakat yang terlibat dalam industri ini.
Dengan menyuarakan keprihatinan mereka, para petani tembakau berharap pemerintah dapat merancang kebijakan yang lebih seimbang dan berpihak kepada keberlangsungan sektor pertembakauan di Indonesia. Dalam dialog ini juga menghasilkan petisi penolakan yang secara simbolis ditandatangani di kain putih, sebagai bentuk penolakan para petani tembakau terhadap Peraturan Pemerintah pertembakauan yang dirancang Eksesif dan merugikan.