Home Nasional Kemenkumham-Institut Leimena Gelar Konferensi Internasional Literasi Keagamaan Lintas Budaya

Kemenkumham-Institut Leimena Gelar Konferensi Internasional Literasi Keagamaan Lintas Budaya

Jakarta, Gatra.com – Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Kemenkumham RI) bekerja sama dengan Institut Leimena akan mengelar Konferensi Internasional Literasi Keagamaan Lintas Budaya yang menghadirkan sedikitnya 30 narasumber terkemuka di dunia. Konferensi yang diadakan 13-14 November 2023 tersebut, mengangkat tema “Human Dignity and Rule of Law for a Peaceful and Inclusive Society” (Martabat Manusia dan Supremasi Hukum untuk Masyarakat yang Damai dan Inklusif) sebagai rangkaian dari peringatan 75 tahun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia, Dhahana Putra mengatakan, konferensi internasional akan membahas topik Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) yang sangat penting dalam konteks Indonesia. Konferensi Internasional LKLB merupakan implementasi Perjanjian Kerja Sama antara Kemenkumham RI dan Institut Leimena sejak 2022 yang bertujuan meningkatkan pemahaman kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam lingkup pendidik.

“Konferensi internasional ini akan diikuti berbagai narasumber baik nasional dan internasional, yang selaras dengan pelaksanaan 75 tahun DUHAM pada 10 Desember nanti dengan tema Harmoni dalam Keberagaman,” kata Dhahana dalam konferensi pers di Graha Pengayoman Kemenkumham, Jakarta pada Kamis (9/11).

Konferensi Internasional Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) akan dibuka oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI (Menkumham RI), Yasonna H. Laoly. Selanjutnya, sesi Gala Dinner yang akan diisi pidato kunci oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, serta sesi utama hari kedua yang dibawakan oleh Wakil Presiden Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-bangsa, Muhammadou M.O. Kah.

Konferensi internasional ini merupakan forum internasional untuk mendiskusikan konsep martabat manusia sebagai prinsip dasar dan inti dari hak asasi manusia yang melekat, yang harus dihormati oleh semua orang tanpa memandang latar belakang, ras, jenis kelamin, dan status sosial. Di Indonesia, pengalaman program Literasi Keagamaan Lintas Budaya yang diadakan Institut Leimena bersama sedikitnya 20 mitra telah menghasilkan ribuan guru dan pendidik dari 34 provinsi di Indonesia, menjadi gambaran bagaimana literasi agama berlandaskan penghargaan harkat dan martabat manusia telah membangun modal sosial untuk masyarakat damai dan inklusif.

Senior Fellow Institut Leimena dan Utusan Khusus Presiden untuk Timur Tengah dan Organisasi Kerja Sama Islam tahun 2016-2019, Alwi Shihab, mengatakan program Literasi Keagamaan Lintas Budaya berfokus untuk meningkatkan kewaspadaan kita terhadap intoleransi di kalangan guru sekaligus memberikan pencerahan tentang hubungan lintas agama.

“Ada sinyalemen bahwa ternyata banyak guru-guru agama Islam, guru-guru agama di Indonesia cenderung intoleran. Ini sangat berbahaya kalau dibiarkan begitu saja tanpa ada usaha dari pemerintah maupun organisasi-organisasi Islam dan Kristen,” kata Alwi yang juga menteri luar negeri RI periode 1999-2001.

Intoleransi karena Penafsiran Keliru

Alwi mengatakan, guru berperan strategis untuk membangun generasi muda menjadi pemimpin bangsa ke depan. Program LKLB melatih guru untuk menguasai tiga kompetensi yaitu pribadi, komparatif, dan kolaboratif.

“Intoleransi yang terjadi di dunia ini dan bahkan pertikaian sampai perang itu disebabkan adanya penafsiran-penafsiran keliru terhadap ajaran agama sehingga perlu kita menggali ajaran agama yang betul-betul bersumber dari prime source,” ujar Alwi.

Kompetensi pribadi artinya seseorang harus benar-benar memahami ajaran agamanya dan selalu merujuk kepada sumber utama (prime source) dalam memandang relasi dengan orang yang berbeda agama. Sedangkan, kompetensi komparatif artinya seseorang diajak mengenal agama lain langsung dari penganutnya agar menepis prasangka antar agama. Kompetensi kolaboratif adalah upaya mencari titik temu dan landasan agar pihak-pihak yang berbeda agama bisa bekerja sama satu sama lain.

“Pendekatan LKLB memberikan pencerahan kepada guru-guru bahwa pada dasarnya kita harus siap untuk berbeda. Perbedaan jangan menjadi pintu masuk pertikaian, sebaliknya perbedaan adalah keniscayaan, maka kita hendaknya mengelola perbedaan tersebut untuk kepentingan bersama,” kata Alwi.

Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, mengatakan Konferensi Internasional LKLB menghadirkan narasumber dari para pejabat pemerintah lintas negara, akademisi, dan petinggi organisasi internasional. Para peserta terdiri dari sekitar 20 duta besar negara-negara sahabat dan para pemimpin atau tokoh dari mitra lembaga keagamaan dan pendidikan dalam program LKLB.

Konferensi Internasional LKLB terdiri dari lima sesi panel dan tujuh sesi pilihan (breakout session). Konferensi ini juga berlangsung secara hybrid (via Zoom) dengan jumlah pendaftar sejauh ini mencapai 2.359 orang.

Para narasumber terkemuka yang akan berbicara dalam konferensi ini antara lain Utusan Khusus untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Kementerian Luar Negeri Kerajaan Belanda, Bea ten Tusscher, Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Amin Abdullah, Wakil Ketua MPR RI, Arsul Sani, Direktur International Center for Law and Religion Studies Brigham Young University Brett Scharffs.

Selanjutnya, Duta Besar Amerika Serikat untuk Kebebasan Beragama Internasional David Saperstein, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Siti Ruhaini Dzuhayatin, Wakil Sekretaris Jenderal (DSG) ASEAN untuk Komunitas Politik-Keamanan Robert Matheus Michael Tene, Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri RI Sidharto R. Suryodipuro, Pendiri dan Ketua Komisi Kebebasan Beragama Internasional Greg Mitchell, dan President of G20 Interfaith Forum Cole Durham.

83