Kupang, Gatra.com - Pergerakan Advokat (PEREKAT) Nusantara dan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) menilai Jimly Asshiddiqie dan MKMK gagal mengembalikan marwah dan kehormatan serta kemerdekaan MK yang dijamin UUD 1945 dari cawe-cawe tangan kekuasaan menggunakan jalur keluarga.
Penilaian itu disampaikan Koordinator PEREKAT Nusantara dan TPDI, Petrus Selestinus, dalam keterangan pers tertulis kepada Gatra.com pada Rabu 8 November 2023.
Penilaian itu merespons Putusan MKMK terkait perkara No.90/PUU-XXI/2023 dengan lima amar. Kelima amar Putusan Majelis Hakim MKMK itu:
1. Menyatakan Hakim Terlapor terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Kosntitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, prinsip ketakberpihakan, integritas, kecakapan dan kesetaraan, independensi, kepantasan dan kesopanan.
2. Menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi kepada Hakim Terlapor.
3. Memerintahkan Wakil Ketua MK untuk dalam waktu 2×24 jam sejak putusan ini selesai diucapkan, memimpin penyelenggaraan pemilihan pimpinan yang baru sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
4. Hakim Terlapor tidak berhak untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pimpinan MK sampai masa jabatan Hakim Terlapor sebagai Hakim Konstitusi berakhir.
5. Hakim Terlapor tidak diperkenankan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perselisihan hasil pilpres, Pemilu DPR, DPD, DPRD, PAILGUB, Bupati dan Walikota yang memiliki potensi benturan kepentingan.
“Putusan itu ibarat dokter bedah mengoperasi kanker tetapi masih menyisakan virus ganas dalam tubuh pasiennya, sehingga masih mengancam MK ke depan,” ujarnya.
Petrus mengatakan, putusan itu sangat tidak menyentuh esensi persoalan dan sama sekali tidak menjawab ekspektasi publik. Apalagi, bila rasa keadilan publik dipandang dari aspek yuridis, filosofis, etik, dan moral. Sebab, MKMK tegas menyatakan Hakim Terlapor terbukti melakukan pelanggaran berat.
"Tetapi, MKMK tidak berani menjatuhkan sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat (PTDH) sesuai ketentuan Pasal 47 Peraturan MK No.1 Tahun 2023 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi," ujarnya.
“Di sinilah nampak aroma kompromi, aroma intervensi kekuasaan untuk menyelamatkan muka Hakim Terlapor. Padahal, MKMK seharusnya mengedepankan upaya menyelamatkan muka MK, menyelamatkan marwah dan keluhuran martabat MK ketimbang muka Hakim Terlapor yang sudah terbukti melakukan pelanggaran berat,” kata Petrus.
Menurut Advokat PERADI ini, dengan amar putusan seperti itu, sebetulnya Jimly Asshiddiqie dan MKMK gagal mengembalikan marwah dan kehormatan serta kemerdekaan MK yang dijamin UUD 1945 dari cawe-cawe tangan kekuasaan menggunakan jalur keluarga.
“Ibarat dokter ahli bedah mengoperasi kanker tetapi masih menyisakan virus ganas dalam tubuh pasiennya, sehingga masih mengancam MK ke depan,” jelas Petrus.
Dia menegaskan, dengan tetap mempertahankan Anwar Usman dalam jabatan Hakim Konstitusi dengan sedikit menghilangkan kekuasaan dan wewenangnya sebagai Ketua MK dengan pembatasan tidak ikut sidang perkara tertentu dan tidak ikut dicalonkan atau mencalonkan diri sebagai pimpinan MK. Namun demikian, dia masih menjadi ancaman disharmonisasi dalam tubuh MK, sehingga Anwar dikhatirkan akan menjalankan peran-peran nonyustisial secara lebih leluasa tanpa beban dan lain-lain.
“Ini berarti Anwar Usman menjadi ancaman serius atau bom waktu bagi MK ke depan”, demikian Petrus.
Merujuk Peraturan MK No.1 Tahun 2023 Tentang MKMK, Petrus menegaskan kalau dengan Putusan MKMK, itu telah menutup jalan bagi Terlapor/Pelapor untuk banding, sementara peraturan Banding yang seharusnya dibuat oleh Anwar Usman selaku Ketua MK selama ini diabaikan, padahal itu menjadi tugas dan kewajiban seorang Ketua MK.
Petrus bersama Tim PEREKAT Nusantara dan TPDI mencatat satu hal penting dan positif dalam putusan MKMK ini adalah telah mendeligitimasi pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Bacawapres, yakni putusan MKMK yang memberhentikan Anwar Usman dari jabatan ketua MK terkait pelanggaran Kode Etik dalam penanganan perkara No.90/PUU-XXI/2023, akibat konflik kepentingan karena hubungan keluarga dari sudut pandang etika dan hukum.
Dengan putusan itu, tandas Petrus, pencalonan Gibran sebagai Bacawapres tidak dan akan menuai gugatan secara beranak-pinak dari Sabang sampai Marauke.