Jakarta, Gatra.com - Hakim Konstitusi Anwar Usman menyayangkan proses peradilan etik yang dilakukan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), buntut masuknya puluhan laporan dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi. Ia menyebut, proses peradilan yang berujung pada pencopotannya dari jabatan Ketua MK RI itu sebenarnya telah menyalahi aturan.
"Saya menyayangkan proses peradilan etik yang seharusnya tertutup sesuai dengan Peraturan MK, dilakukan secara terbuka," ujar Anwar Usman ketika ditemui awak media, di Gedung MK RI, Jakarta Pusat, pada Rabu (8/11).
Anwar menilai, pelaksanaan proses peradilan etik secara terbuka secara normatif telah menyalahi peraturan. Hal itu pun dianggapnya tak sejalan dengan tujuan pembentukan MKMK, yakni untuk menjaga keluhuran dan martabat hakim konstitusi, baik secara individual maupun institusional.
"Begitu pula halnya, tentang Putusan Majelis Kehormatan MK, meski dengan dalih melakukan terobosan hukum, dengan tujuan mengembalikan citra MK di mata publik, hal tersebut tetap merupakan pelanggaran norma, terhadap ketentuan yang berlaku," ucapnya.
"Namun, sebagai Ketua MK saat itu, saya tetap tidak berupaya untuk mencegah atau intervensi terhadap proses, atau jalannya persidangan Majelis Kehormatan MK yang tengah berlangsung," lanjutnya.
Sebagaimana diketahui, MKMK menganggap Anwar telah terbukti melanggar sejumlah prinsip dalam Sapta Karsa Hutama, yang membuatnya harus mundur dari kursi Ketua MK. Beberapa di antaranya yakni Prinsip Ketidakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan.
Tak hanya itu, Anwar pun dinyatakan tidak berhak lagi untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pimpinan MK sampai masa jabatannya sebagai hakim konstitusi berakhir. Ia juga tidak diperkenankan untuk terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perselisihan hasil pemilihan umum (pemilu) yang memiliki potensi benturan kepentingan.
Adapun, sederet laporan dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi terus masuk sejak diputuskannya perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru. Anwar pun menjadi hakim konstitusi yang paling banyak dilaporkan, dengan total 15 dari 21 laporan.
Para pelapor menilai, putusan tersebut kental akan muatan konflik kepentingan yang melibatkan Anwar. Di mana, gugatan itu erat kaitannya dengan pengusungan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka, yang merupakan putra Presiden RI Joko Widodo dan keponakan Anwar, yang kini maju sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Para pelapor pun menganggap pengabulan gugatan itu telah memuluskan langkah Gibran untuk melenggang sebagai cawapres. Sebab, dengan dikabulkannya gugatan tersebut, maka syarat batas usia capres-cawapres mengalami perubahan, dari yang semula ditetapkan minimal 40 tahun menjadi minimal 40 tahun atau pernah menjabat sebagai kepala daerah di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.