Pekanbaru, Gatra.com - Sampai sekarang Priyono tak tahu musti berbuat apa. Sudah tiga tahun belakangan lelaki 51 tahun ini merenung lantaran hasratnya untuk ikut program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), tak kunjung kesampaian.
Penyebabnya cuma satu, lahan kebun kelapa sawit eks plasma PT. Perkebunan Nusantara V miliknya yang berada di Blok A Kepenghuluan Bhayangkara Kecamatan Bagan Sinembah Kabupaten Rokan Hilir (Rohil), Riau, diklaim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai kawasan hutan.
Yang membikin ayah dua anak ini makin puyeng, belum lama ini patok-patok kawasan hutan bikinan KLHK, sudah menghiasai kaplingkan kebun kelapa sawit Priyono, tanpa ada pemberitahuan sama sekali.
Padahal, selain tanaman sawit nya sudah berumur 40 tahunan, lahan kebun warisan ayahnya yang transmigran kiriman pemerintah dari pulau Jawa itu, sebenarnya sudah bersertifikat hak milik. Inilah yang membikin Nadzir Masjid Al-Falah Blok A ini semakin bingung.
Di Bagan Sinembah, bukan cuma Priyono sebenarnya yang puyeng. Ketua DPD Apkasindo Rohil, Tomy Sihombing cerita, orang yang senasib dengan Priyono di Rohil sangat banyak.
"Data sementara yang kami punya, Blok A dan Blok B (Kepenghuluan Bagan Sapta Permai) yang diklaim kawasan hutan mencapai 560 hektar. Lalu, PIR Khusus Paket I dan J Kepenghuluan Panca Jaya Kecamatan Bagan Sinembah Raya, dari 1600 hektar luas kebun sawitnya, separuh diklaim kawasan hutan," Tomy merinci.
Di Kepenghuluan Koto Parit Kecamatan Simpang Kanan, Safi'i Ritonga dan warga lain di sana, juga bingung setelah kebun sawitnya dipatoki kawasan hutan.
Sementara pengakuan bekas Penghulu Koto Parit, Bahagia Rambe, mayoritas lahan di kepenghuluan itu adalah lahan ber-SHM yang bekas program Smallholder Rubber Development Project (SRDP).
Di Desa Siabu Kecamatan Salo Kabupaten Kampar, Riau, Syafrudin juga hanya bisa gigit jari setelah kebun sawitnya tak bisa ikut PSR. Penyebabnya sama dengan yang dirasakan Priyono.
Ketua Kelompok Tani Siabu Sejahtera ini cerita, lahan yang mau diajukan PSR itu adalah milik Mbah Suwarno, transmigran kiriman Presiden Soekarno pada tahun 1965 silam. Ia bersama 79 warga lainnya dikirim dari Pulau Jawa.
"Walau kakek istri saya ini datang ke Riau tahun 1965, tapi sertifikat kebunnya baru keluar tahun 1985," cerita lelaki 43 tahun ini.
Sudarsono Sudomo tak heran dengan apa yang dikeluhkan Priyono dan kawan-kawan. Saat ini di Indonesia kata Guru Besar IPB University ini, banyak tanah rakyat yang sudah bersertifikat, baik itu hak milik maupun hak guna usaha yang diberikan oleh negara, mendadak diklaim sebagai kawasan hutan.
Tanah yang diberikan oleh negara melalui program transmigrasi dengan sertifikatnya, juga menjadi hilang begitu saja lantaran dirampas menjadi kawasan hutan.
"Beginilah praktik kelakuan kaum zionis di negeri tercinta ini. Mestinya praktik-praktik semacam ini enggak boleh terjadi. Sebab, satu tahapan pokok yang harus dilakukan dalam penetapan kawasan hutan adalah penataan batas," kata lelaki 67 tahun ini.
"Esensi dari penataan batas itu penyelesaian hak-hak pihak ketiga. Contohnya, hak rakyat atas tanahnya, khususnya yang telah bersertifikat," tambahnya.
Jadi, penataan batas kata Sudarsono harus dilakukan bersama pihak-pihak yang saling berbatasan. Namun, yang terjadi saat ini justru, pematokan batas dilakukan secara sepihak, sembunyi-sembunyi dan kadang dilakukan malam-malam.
"Padahal, aturan main sudah ada. Pasal 14 dan 15 UU 41 tahun 1999 tentang kehutanan yang mengatakan bahwa kawasan hutan harus dikukuhkan untuk mendapatkan kepastian hukum. Lalu, pengukuhan kawasan hutan itu dilakukan dalam empat tahapan; penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan. Tapi aturan itu diabaikan," ujarnya.
Lelaki ini kemudian mengulas Putusan MK No. 34/PUUIX/2011. Di putusan itu disebut bahwa Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai "Penguasaan hutan oleh Negara tetap wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional"
"Keputusan MK di atas pada dasarnya telah membatalkan wewenang pemerintah yang dinyatakan pada Pasal 4 ayat (2). Pada huruf b, kewenangan pemerintah adalah menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan," terangnya.
Penata Pertanahan Muda Kantor Wilayah Pertanahan Provinsi Riau, Siddiq Aulia Ernesia mengatakan, hak atas tanah yang sudah bersertifikat, itu clear and clean dari status kawasan hutan dan berkekuatan hukum tetap.
Itu dijamin oleh UU 5 tahun 60 tentang pokok-pokok agraria. Bahwa sertifikat adalah bukti otentik hak atas tanah.
"Pendirian kami begitu," katanya kepada Gatra.com usai menjadi pembicara pada Seminar yang digelar oleh Aspek-PIR Indonesia, di Pekanbaru, dua hari lalu.
Hanya saja realita yang ada saat ini, enggak hanya di Riau, banyak SHM dan HGU berada dalam kawasan hutan versi KLHK.
Musababnya kata Siddiq, terjadi perubahan status tata ruang. "Dulu saat kita menerbitkan hak atas tanah, statusnya APL. Tapi dalam perjalanan waktu, KLHK kemudian menyatakan itu kawasan hutan," ujarnya.
Siddiq mencontohkan yang di Riau begini; katakanlah pada SK 173 tahun 1986, lahan yang disertifikatkan berada di APL. Seiring waktu, muncul SK 903 tahun 2016. Di SK terbaru ini, APL tadi berubah jadi kawasan hutan. "Harusnya sebuah peraturan kan enggak boleh berlaku surut," katanya.
Di Satgas Sawit kata Siddiq, BPN tetap satu suara bahwa sertifikat yang dikeluarkan, itu sudah melalui mekanisme yang sudah teruji. Terlebih HGU yang prosesnya dilakukan oleh panitia B.
Unsur di panitia ini ramai, ada Bupati, Tata Ruang, Perkebunan, hingga kehutanan. "Nah, jika saat itu panitia B menyatakan areal yang mau di-HGU-kan kawasan hutan, enggak mungkin kita HGU kan," tegasnya.
Lantaran sertifikat tadi memang sudah clear and clean dari kawasan hutan, Siddiq berpesan kepada pemilik sertifikat, khususnya petani untuk tidak risau. "Sepanjang lahannya sudah bersertifikat, enggak ada masalah memanfaatkan atau mengelolah lahan itu sesuai fungsi dan peruntukannya. Jangan diterlantarkan," pintanya.