Jakarta, Gatra.com - Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) telah memutuskan untuk mencopot Anwar Usman dari jabatannya sebagai Ketua MK RI. Anwar pun sudah tak lagi diperkenankan untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pimpinan MK sampai masa jabatannya sebagai hakim konstitusi berakhir.
Hal itu menyusul putusan MKMK yang menilai Anwar telah terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi, sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama. Utamanya, terkait Prinsip Ketidakberpihakan, Integritas, Kecakapan dan Kesetaraan, Independensi, serta Kepantasan dan Kesopanan.
Namun demikian, perbedaan pendapat (dissenting opinion) datang dari Anggota MKMK, Bintan R. Saragih. Menurut Bintan, MKMK seharusnya dapat memberikan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) kepada Anwar Usman.
Pasalnya, MKMK menyatakan bahwa Anwar telah terbukti melakukan pelanggaran berat. Di mana, PTDH merupakan satu-satunya sanksi terhadap pelanggaran berat, apabila ditilik berdasarkan Pasal 41 huruf (c) Pasal 47 Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2023 tentang MKMK.
Menanggapi hal itu, Ketua MKMK, Jimly Asshiddique, menjelaskan alasan yang mendasari pihaknya memutuskan untuk mengumumkan sanksi pencopotan Anwar dari jabatannya sebagai putusan final. Menurutnya, hal itu berkenaan dengan waktu pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang saat ini tengah berlangsung.
"Tadi saya kemukakan, yang berlaku adalah yang diputuskan. Kami tadi sudah dijelaskan. Sama pendapatnya ini, cuma kalau sanksinya adalah sebagaimana ditentukan dalam Peraturan MK, pemberhentian tidak hormat dari anggota [hakim konstitusi], maka itu harus diberi kesempatan untuk Majelis Banding," ujar Ketua MKMK Jimly Asshiddique dalam sidang pembacaan putusan di Gedung MK RI, Jakarta pada Selasa (7/11).
Jimly mengatakan, pembentukan Majelis Banding atas putusan MKMK itu harus dilakukan berdasarkan Peraturan MK. Hal itu kemudian membuat putusan MKMK menjadi tidak pasti di saat Indonesia kini membutuhkan kepastian yang konkret menjelang pelaksanaan pemungutan suara pada Februari mendatang.
"Kita memerlukan kepastian yang adil untuk tidak menimbulkan masalah-masalah yang berakibat pada proses pemilu yang tidak damai, proses pemilu yang tidak terpercaya. Untuk itulah, kami memutuskan [agar menjntuhkan sanksi] berhenti dari ketua, sehingga ketentuan mengenai Majelis Banding tidak berlaku," jelas Jimly.
Ketua MK pertama di Indonesia itu menyatakan, dengan tidak berlakunya ketentuan mengenai Majelis Banding, maka putusan MKMK dapat berlaku sejak dibacakannya putusan pada Selasa (7/11).
Dengan demikian, lanjut Jimly, perintah putusan MKMK kepada Wakil Ketua MK RI, Saldi Isra, untuk memimpin penyelenggaraan pemilihan pimpinan yang baru sesuai dengan peraturan perundang-undangan harus dilaksankaan dalam waktu 2x24 jam sejak waktu pembacaan putusan tersebut.