Jakarta, Gatra.com - Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) bahwa Hakim Konstitusi memutuskan bahwa Ketua MK RI Anwar Usman telah terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim buntut adanya konflik kepentingan dalam putusan MK atas gugatan nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres).
"Memutuskan, menyatakan, Hakim Terlapor terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi, sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, Prinsip Ketidakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan," ujar Ketua MKMK Jimly Asshiddique dalam sidang pembacaan putusan, di Gedung MK RI, Jakarta Pusat, pada Selasa (7/11).
"Menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi kepada Hakim Terlapor," lanjut Jimly.
Oleh karena itu, MKMK juga memerintahkan Wakil Ketua MK RI Saldi Isra untuk memimpin penyelenggaraan pemilihan pimpinan yang baru sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dalam waktu 2x24 jam sejak putusan tersebut selesai diucapkan.
"Hakim Terlapor tidak berhak untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pimpinan Mahkamah Konstitusi sampai masa jabatan Hakim Terlapor sebagai Hakim Konstitusi berakhir," kata Jimly.
Tak hanya itu, Anwar Usman juga tidak diperkenankan untuk terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perselisihan hasil pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, yang memiliki potensi timbulnya benturan kepentingan.
Adapun, terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari satu orang Anggota MKMK Bintan R. Saragih. Menurut Bintan, MKMK seharusnya dapat memberikan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) kepada Anwar Usman. Pasalnya, MKMK menyatakan bahwa Anwar telah terbukti melakukan pelanggaran berat.
Di mana, PTDH merupakan satu-satunya sanksi terhadap pelanggaran berat, apabila ditilik berdasarkan Pasal 41 huruf (c) Pasal 47 Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2023 tentang MKMK.
Sebagaimana diketahui, sederet laporan dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi terus masuk sejak diputuskannya perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru. Para pelapor menilai, putusan tersebut kental akan muatan konflik kepentingan yang melibatkan Ketua MK Anwar Usman.
Pasalnya, gugatan itu erat kaitannya dengan pengusungan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka, yang merupakan putra Presiden RI Joko Widodo dan keponakan Anwar, yang kini maju sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Para pelapor pun menganggap pengabulan gugatan itu telah memuluskan langkah Gibran untuk melenggang sebagai cawapres. Sebab, dengan dikabulkannya gugatan tersebut, maka syarat batas usia capres-cawapres mengalami perubahan, dari yang semula ditetapkan minimal 40 tahun menjadi minimal 40 tahun atau pernah menjabat sebagai kepala daerah di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Di samping itu, MK juga banyak disorot karena telah terjadi perubahan putusan dalam waktu yang singkat. Sebab, sebelum mengabulkan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, MK telah lebih dulu menolak tiga perkara dengan gugatan serupa dalam rangkaian sidang yang sama. MK menilai, gugatan yang diajukan dalam tiga perkara itu tidak beralasan menurut hukum.
Salah satunya ialah gugatan yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang meminta batas usia capres-cawapres diturunkan menjadi 35 tahun. Sementara itu, dua gugatan lainnya ialah gugatan yang dilakukan Partai Garuda dan sejumlah pimpinan daerah dengan mengajukan syarat alternatif "pernah menjadi pejabat negara" di samping batas usia minimal.