Jakarta, Gatra.com - Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) akan menggelar sidang pleno pengucapan putusan atas dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi tentang putusan atas gugatan batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres), pada Selasa (7/11), mulai pukul 16.00 WIB.
Sidang pleno pengucapan putusan itu merupakan final dari serangkaian proses persidangan yang telah dilakukan MKMK sejak Kamis (26/10) hingga Jumat (3/11), untuk menindaklanjuti 21 laporan yang masuk usai pembacaan putusan yang mengabulkan gugatan Nomor 90/PU-XXI/2023 itu. Tak hanya mendengarkan keterangan para pelapor, MKMK juga telah menyidangkan kesembilan hakim terlapor dan panitera selama proses persidangan itu.
Ketua MKMK, Jimly Asshiddique, mengungkapkan, sejumlah poin penting yang pihaknya temukan dalam sidang tertutup tersebut. Lima di antaranya telah Gatra.com rangkum sebagai berikut:
1. Beberkan Tiga Opsi Sanksi
Jimly Asshiddique mengungkapkan, ada tiga opsi sanksi yang mungkin MKMK berikan pada kesembilan hakim konstitusi apabila terbukti bersalah dalam dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim tersebut. Ketiganya yakni sanksi teguran, peringatan, dan pemberhentian. Adapun, ketiga sanksi itu sebagaimana termaktub dalam Peraturan MK.
Jimly menjelaskan, sanksi pemberhentian secara eksplisit dapat disebut dengan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH), pemberhentian dengan hormat, maupun pemberhentian dari jabatan tertentu. Sementara itu, sanksi peringatan dapat diberikan dalam variasi peringatan biasa, keras, maupun sangat keras. Adapun, opsi sanksi paling ringan yang dapat diberikan ialah sanksi teguran, yang terdiri dari teguran lisan maupun teguran tertulis.
"Tetapi, misalnya kalau tidak terbukti, maka [kami] rehabilitasi. Jadi, kan sembilan [hakim] kena, dilaporkan semua nih. Ya mungkin di antara sembilan [hakim] itu ada yang direhabilitasi, karena 'orang ini baik'. Nah, kita akan sebut itu," ujar Jimly, saat ditemui awak media usai sidang pemeriksaan pertama, di Gedung MK RI, Jakarta, pada Selasa (31/10) malam.
2. Ungkap Adanya Dugaan Kebohongan Anwar Usman
Jimly juga mengungkapkan adanya dua pernyataan yang berbeda mengenai alasan ketidakhadiran Ketua MK RI Anwar Usman dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) sebelum memutus gugatan terkait batas usia capres-cawapres tersebut. Menurutnya, tendensi kebohongan itu merupakan temuan yang baru didapatkannya selama menyidangkan tiga hakim konstitusi, yakni Saldi Isra, Manahan Sitompul, dan Suhartoyo.
"Kan waktu [rapat untuk gugatan beberapa pemohon yang ditolak] itu, alasannya kenapa tidak hadir ada dua versi. Ada [yang] bilang karena menyadari ada konflik kepentingan, tapi ada alasan yang kedua karena sakit," kata Jimly, ketika ditemui awak media usai sidang tertutup di Gedung MK RI pada Rabu (1/11).
"Ini kan pasti salah satu benar, dan kalau satu benar berarti satunya tidak benar. Nah, pada mempersoalkan, 'Oh, ini bohong nih'. Itu yang tadi, dua-duanya pada mempersoalkan itu," imbuhnya.
3. Ungkap Urgensi Periksa Anwar Usman Lebih dari Sekali
Anwar Usman menjadi nama hakim konstitusi yang paling banyak dilaporkan publik atas dugaan pelanggaran kode etik tersebut. Di mana, nama Usman tercantum sebagai hakim terlapor pada 15 dari 21 laporan yang masuk ke MK. Oleh karena itulah, Anwar menjadi satu-satunya hakim yang diperiksa lebih dari satu kali selama proses persidangan berlangsung.
"[Diperiksa dua kali] karena dia paling banyak [dilaporkan]," kata Jimly saat ditemui awak media, pada Kamis (2/11).
Menurut Jimly, pemeriksaan lebih terhadap Anwar Usman yang lebih dari sekali bertujuan untuk mengklarifikasi sejumlah keterangan yang diberikan oleh pihak-pihak yang telah diperiksa lebih lanjut selama proses persidangan.
Mengingat, Anwar menjadi hakim yang paling banyak dipermasalahkan karena adanya dugaan konflik kepentingan akibat hubungan kekerabatannya dengan Cawapres pendamping Prabowo Subianto, Gibran Rakabuming Raka, yang dapat maju dalam kontestasi politik tersebut usai putusan MK atas gugatan Nomor 90/PUU-XXI/2023 dibacakan.
"Jadi, kita harus beri dia kesempatan untuk klarifikasi, karena rata-rata laporan itu ekstrem-ekstrem semua," ucapnya.
4. Klarifikasi soal Tanda Tangan Almas Tsaqibbiru
Dalam persidangan Kamis (2/11) silam, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) mengungkapkan bahwa dokumen perbaikan permohonan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 belum ditandatangani oleh Almas Tsaqibbirru sebagai pemohon, sekaligus kuasa hukumnya. Jimly pun kemudian mengklarifikasi hal tersebut dan mengatakan bahwa dokumen itu telah diperbaiki sebelum akhirnya dapat diputus.
"Rupanya, memang [di] awal tidak ada tanda tangan, tapi kan ada sidang klarifikasi, sidang pendahuluan. Nah, itu sudah diperbaiki. Ada itu [tanda tangannya], tapi banyak yang beredar di media sosial itu dokumen yang awal, [yang] memang belum ditandatangani," jelas Jimly.
Ketua MK pertama di Indonesia itu tak menampik fakta bahwa ada banyak masalah terkait gugatan tersebut dari segi administrasi. Namun, menurutnya, permasalahan itu telah lebih dulu diperbaiki dalam rapat klarifikasi bersama MK.
5. Turut Periksa CCTV
Jimly juga mengungkapkan bahwa MKMK turut melakukan pemeriksaan CCTV selama proses persidangan laporan dugaan pelanggaran kode etik tersebut. Namun demikian, pemeriksaan CCTV itu cenderung berkenaan dengan proses administrasi pengajuan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.
"Enggak [kita periksa CCTV saat RPH]. [Yang diperiksa itu] CCTV yang berkaitan dengan penarikan permohonan dan pencabutan dan kemudian diajukan lagi. Kita periksa salahnya di mana, kan belum tentu salah juga," ujar Jimly.
Untuk diketahui, Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam pemaparan dissenting opinion-nya menyampaikan bahwa Panitera MK RI sempat menerima surat penarikan permohonan gugatan yang dikirim oleh Kuasa Hukum Almas, pada Jumat (29/9). Namun, pada keesokan harinya, MK menerima surat baru dari Kuasa Hukum Almas yang memuat pembatalan surat pencabutan gugatan tersebut.
MK kemudian menggelar sidang untuk mengonfirmasi pencabutan dan pembatalan surat pencabutan tersebut pada Selasa (3/10). Di mana, ketika itu, Kuasa Hukum Almas menyatakan bahwa surat pembatalan tersebut telah diterima oleh Petugas Keamanan MK bernama Dani pada Sabtu (30/9).
Hal itu berbeda dengan fakta yang didapatkan Arief dengan merujuk pada Tanda Terima Berkas Perkara Sementara. Di mana, MK mencatat bahwa surat pembatalan penarikan gugatan itu baru diterima pada Senin (2/10) oleh seorang Pegawai MK yang bernama Safrizal.
Arief pun mengaku heran dengan pernyataan pihak Almas yang menyebut Kepaniteraan MK meregistrasi surat pembatalan penarikan gugatan itu pada Sabtu (30/9), yang merupakan hari libur. Ia menilai, seharusnya surat itu diterima pada Senin (2/10) sebagaimana Tanda Terima Berkas Perkara Sementara.