Home Regional Mahkamah Kongkalikong, Saat MK, Anwar Usman, dan Gibran Dikritik lewat Ketoprak

Mahkamah Kongkalikong, Saat MK, Anwar Usman, dan Gibran Dikritik lewat Ketoprak

Yogyakarta, Gatra.com – Sejumlah budaywan dan aktivis Daerah Istimewa Yogyakarta memberi kritik tajam atas keputusan batas usia capres-cawapres dan berharap keputusan yang dikeluarkan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) adil.

Lewat gelaran ketoprak tobong di lobi gedung DPRD DIY, sebanyak 30 seniman dan aktivis di bawah pimpinan produksi Widihasto Wasana Putro menyajikan lakon berjudul ‘Mahkamah Kongkalikong’.

Pentas yang diselenggarakan pada Senin (6/11) dan berdurasi hampir satu jam ini disutradarai seniman Nano Asmorodono.

“Kolaborasi antara budayawan dan aktivis ini menjadi aksi protes dari kami terhadap keputusan MK yang menjadi perhatian dan kontroversi luas. Lakon Mahkamah Kongkalikong semakin membuka kesadaran dan sikap kritis masyarakat bahwa negara Indonesia sedang tidak baik-baik saja,” jelas Hasto.

Dirinya menerangkan pemilihan kata kongkalikong ini seperti memberi gambaran bahwa keputusan yang dihasilkan oleh MK terkait batas usia capres-cawapres sudah direkayasa dan diseting oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan atas itu.

“Saya melihat ada konflik kepentingan kuat di tubuh MK sendiri dengan salah satu pasangan capres-cawapres. Patut diduga keputusan MK sarat dengan kepentingan nepotisme,” ucapnya.

Hasto berharap keputusan MKMK yang akan dikeluarkan Selasa (7/11) akan bersifat adil sehingga memenuhi harapan masyarakat.

Sutradara Nano Asmorodono menyebut keputusan MK terkait batas usia capres-cawapres menandakan oligarki politik telah bersekongkol dengan memaksakan perubahan konstitusi untuk melegitimasi agenda politik kekuasaan.

“Apalagi publik melihat dengan mata terbuka adanya konflik kepentingan dari hakim konstitusi sekaligus pimpinan Mahkamah Konstitusi Anwar Usman yang ikut mengadili perkara yang menguntungkan keponakannya yang dijadikan sebagai dalil legal standing oleh pemohon,” katanya.

Hal ini bertentangan dengan the Bangalore Principle of Judicial Conduct, UU Kekuasaan Kehakiman, UU Mahkamah Konstitusi, dan PMK tentang Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi, khususnya terkait prinsip imparsialitas yang mengakibatkan putusan menjadi tidak sah.

"Jika praktik-praktik politik kotor itu terus dijalankan di republik ini maka niscaya bangsa ini akan kembali mengulangi kesalahan politik di masa lalu di era Orde Baru di mana kekuasaan politik hanya dalam cengkeraman segelintir elit politik," kata Nano.

Ketua DPD Golkar yang merupakan anggota DPR RI asal DIY, Gandung Pardiman, dalam rilisnya meminta Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie tidak larut dan terjebak ikut berpolitik dengan mengembangkan opini yang tendensius.

“Kami minta Ketua MKMK tidak larut ikut berpolitik dengan opini - opini yang tendensius. Kami minta ketua MKMK bekerja sesuai tupoksinya tentang pelanggaran kode etik dan tidak melebar mempengaruhi putusan MK yang sudah final," ungkap Gandung.

Dirinya menyatakan, karena bersifat final dan mengikat, keputusan itu telah memiliki kekuatan hukum tetap sejak dibacakan dalam persidangan MK. Baginya, keputusan itu sama sekali tidak ada keterkaitan dengan Gibran Rakabuming Raka, tapi keputusan itu berlaku untuk semuanya.

“NKRI ini terbentuk berkat gerakan generasi muda pada waktu itu. Jadi jangan ragukan kualitas generasi muda,” tutur Gandung.

131