Home Hukum Enam Ahli Hukum Eksaminasi Putusan Perkara Impor Baja Terdakwa Budi Linardi

Enam Ahli Hukum Eksaminasi Putusan Perkara Impor Baja Terdakwa Budi Linardi

Jakarta, Gatra.com – Enam ahli hukum pidana mengeksaminai putusan perkara dugaan korupsi impor baja dan produk turunannya Nomor: 79/PID.SUS/TPK/2022/PN.JKT.PST juncto Putusan Nomor: 22/PID.SUS-TPK/2023/PT.DKI atas nama terdakwa Budi Hartono Linardi, pemilik PT Mereaseti Logistik Indonesia (MLI).

Keenam ahli hukum yang mengeksaminasi kedua putusan tersebut, yakni Mahrus Ali dan Muzzair dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Chairul Huda dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Rocky Marbun dari Universitas Pancasila (UP) Jakarta, Prof. Tongat dari Universitas Muhammadiay Malang (UMM), dan Prof. Amir Ilyas dari Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar.

Adapun kedua putusan yang dieksaminasi tersebut, yakni pada tingkat Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, menghukum terdakwa Budi Hartono Linardi12 tahun penjara, denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan, dan membayar uang pengganti sebesar Rp91,3 miliar.

Majelis hakim menyatakan terdakwa Budi Hartono Linardi terbukti secaa sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi. Dia melanggar Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Sedangkan pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Budi Hartono Linadri divonis 8 tahun penjara, denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan, dan menghilangkan membayar uang pengganti sebab terdakwa tidak menikmati uang dari hasil korupsi karena hanya merupakan penyedia jasa impor.

Mahrus Ali dalam hasil eksaminasi yang diterima pada Senin (6/11), menyampaikan, pihaknya menyimpulkan bahwa perbuatan terdakwa Budi Hartono Linardi dalam perkara a quo tidak tepat melanggar Pasal 2 Ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

“Perbuatan terdakwa merupakan pelanggaran terhadap UU Kepabeanan,” ujarnya.

Selanjutnya, tidak tepat mengaitkan antara kerugian sebesar Rp1.060.658.585.069 yang jelas merupakan kerugian keuangan negara dengan sejumlah Rp91.300.126.793 yang diperoleh oleh PT Maraseti Logistik.

Uang sejumlah Rp1.060.658.585.069 tersebut, lanjut dia, adalah kewajiban pembayaran bea kepabeanan dan pajak-pajak lainnya yang seharusnya terbayarkan kepada negara oleh 6 perusahaan yang meminta bantuan kepada terdakwa untuk memperoleh Surat Penjelasan.

Uang tersebut merupakan sumber penerimaan yang harus diperoleh negara. Sedangkan uang sejumlah Rp91.300.126.793 tersebut diperoleh oleh terdakwa Budi karena telah mengurus Surat Penjelasan impor dari 6 perusahaan melalui alm. Ira Chandra.

“Uang tersebut bukanlah kerugian keuangan negara sehingga baik terdakwa maupun PT Maraseti Logistik tidak dapat dibebani kewajiban untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Ayat (1) huruf b UU Tipikor,” ujarnya.

Selanjutnya, penggunaan penghitungan kerugian perekonomian negara dalam perkara a quo bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 25/PUU-XIV/2016 yang menegaskan agar kerugian keuangan negara nyata dan pasti jumlahnya, melanggar ajaran kausalitas, dan bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (1) huruf b tentang pembayaran uang pengganti.

Pandangan tersebut sejalan dengan pendapat para eksaminator lainnya. Mereka menambahan, ada error in persona dalam putusan perkara a quo karena perbuatan terdakwa bukan atas nama diri sendiri, melainkan bertindak untuk dan atas nama PT Maraseti Logisik.

132