Muaraenim, Gatra.com - Arifin Jaya (46), satu dari warga Desa Tanjung Menang, Kecamatan Rambang Niru, Kabupaten Muaraenim, Sumatera Selatan (Sumsel), hanya bisa pasrah saat satwa liar menyatroni rumahnya.
Sisa-sisa genting yang hancur setelah disatroni satwa liar (kawanan kera ekor panjang) masih berserakan di sekitar rumahnya. Hewan liar yang sangat adaptif ini dalam waktu singkat menjatuhkan genting rumah Arifin, di bagian depan dan mulai masuk ke toilet umum di samping rumahnya.
Ia mengaku, sebelum adanya proses land clearing (pembukaan lahan), mereka tak pernah mendapati serangan hewan liar bahkan bisa hidup berdampingan dengan tidak saling mengganggu habitat karena hanya berjarak sekitar 300 meter.
"Pernah juga ada ular masuk rumah, seperti kobra dan ular berbisa lainnya. Padahal dulu tidak pernah ular sampai masuk permukiman. Kami mulai khawatir jika land clearing untuk tambang makin meluas, maka habitat hewan liar ini terganggu dan kami terkena imbasnya," tuturnya.
Hal serupa diungkapkan Darma (39), yang juga tak luput dari kejahilan para kera liar tersebut. Termasuk kebun palawija maupun bibit sawit yang ditanam di kebun turut diacak-acak kera liar.
“Kera ini memang banyak terdapat di hutan produksi (HP) wilayah Rambang Niru. Namun sejak sejak land clearing berjalan, kemungkinan pasok makanan dan rumah mereka hilang sehingga kera ini menyatroni permukiman warga untuk mencari makan,” ungkap Darma.
Tak hanya hewan liar yang terus invasif, keberadaan satwa liar dilindungi seperti trenggiling, kancil, hingga harimau sumaterapun terancam menghilang seiring dengan upaya pembukaan tambang batubara di wilayah Tanjung Menang.
Ketua posko Rumah Merdeka, Satria Darma Wijaya mengaku dulu mereka masih sering menemui beberapa hewan liar yang langka seperti landak, kancil, trenggiling.
"Sejak proses land clearing, semua hewan itu hilang. Hutan kebun masyarakat yang selama ini menjadi rumah mereka sudah tidak ada lagi. Padahal beberapa tahun lalu warga masih sempat melihat harimau," ungkap Satria.
Kekhawatiran akan menghilangnya satwa liar langka ini muncul saat warga tak lagi mendapati rumah atau sarang trenggiling yang terbuat dari undakan tanah. Satria mengaku, warga lokal sangat sadar jika hewan-hewan tersebut langka dan berstatus dilindungi. Maka dari itu warga tidak berani memburunya dan membiarkannya liar di hutan.
"Sekarang hampir tidak ada lagi ditemukan sarang trenggiling itu, karena proses land clearing terus melebar. Selain itu, sejak kemarau warga biasa pergi ke kebun karet pukul 04.00 WIB, dan mereka sering ketemu ular," jelasnya.
Konflik manusia dan hewan liar serta hilangnya habitat bagi satwa langka dilindungi tersebut menurutnya tidak diperhitungkan oleh pemerintah maupun perusahaan selaku pemegang IUP tambang. Padahal persoalan desa ini belum usai sejak ground breaking PLTU Sumsel 1 2016 lalu dan pembangunan jalur sutet yang terus menggesek konflik dengan warga akibat pembebasan lahan.
"Wacananya ada 200 hektar untuk mulut tambang (rencana lahan tambang batubara) dan baru 47 Ha yang dibebaskan. PT Cakra Bumi Energi selaku pemegang IUP tambang memberikan nominal berbeda untuk setiap kompensasi pembebasan lahan. Tergantung kesepakatan antara pemilik lahan dengan pelaksana tambang," bebernya.
Rata-rata lahan yang akan dibebaskan merupakan 90 persen kebun warga yang terdiri dari 80 persen kebun karet dan sisanya sawit. Sementara hutan yang berada di wilayah tersebut masih masuk dalam hutan produksi.
"Warga sangat keberatan dan dirugikan dengan adanya pembukaan tambang batubara ini. Karena kita menerima laporan, ada salah satu perangkat desa ikut menandatangani AMDAL, dan tercatat jika desa Tanjung Menang tidak mengizinkan pembukaan tambang, melainkan hanya merekomendasikan wilayah perkantoran," tegasnya.
Tak hanya dampak pra tambang saja yang sudah dialami warga, kekhawatiran lain yang muncul ketika pasca tambang, atau setelah tambang batubara tersebut beroperasi juga menjadi fokus pihaknya. Seperti kerusakan sungai yang berimbas pada kebergantungan hidup warga setempat. Sebagaimana diketahui, sungai Niru merupakan sungai yang berdekatan dengan desa Tanjung Menang dan mengalir ke Lematang lalu ke Musi.
"Sudah dipastikan kita di bagian hulu, dan kita berharap kepada pelaksana tambang agar benar-benar memperhatikan air sungai Niru tidak terganggu karena pencemaran. Terlebih saat kemarau masyarakat sangat bergantung pada sungai Niru," tegas Satria.
Menanggapi hal ini, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumsel wilayah II Lahat, Yusmono mengatakan, jika pembukaan tambang yang menggerus habitat satwa merupakan ancaman terhadap pelestarian hewan dilindungi.
Menurutnya, sebelum keluarnya izin tambang harusnya ada semacam identifikasi terhadap keanekaragaman hayati di sana. "Kalau satwa tersebut berkeliaran di luar kawasan konservasi, maka kita tidak bisa secara langsung melakukan upaya mitigasi terhadap satwa dilindungai. Namun kita mempermasalahkan kenapa dari awal tidak diperhatikan hayatinya," tegasnya.
Tentunya imbas perizinan tambang yang tidak memperhatikan hayati ini karena dari awal tidak memperhatikan alih fungsi lahan. Dampak buruknya tentu saja mengancam kelestarian satwa.
“Kami meminta agar perusahaan pertambangan dapat memperhatikan pelestarian satwa, termasuk menyediakan area lindungnya supaya tempat migrasi perpindahan satwa bisa berjalan baik. Tidak semua areal ditambang, jadi harus dibuka tempat perlindungan satwa itu,” imbaunya.
Sementara itu, terkait rencana pembukaan tambang batubara di desa Tanjung Menang kecamatan Rambang Niru kabupaten Muaraenim, PT Cakra Bumi Energi (CBE) selaku pemegang IUP tak bisa dikonfirmasi. Bahkan saat media ini mencoba mendatangi langsung lokasi pintu tambang, pihak CBE tidak berada di tempat dan tak bisa dihubungi.
"Sudah ada 4 alat berat di dalam (lokasi pembukaan tambang), beberapa pekerja dari Lahat juga sudah ada. Tapi kalau mau menemui pihak CBE nggak ada, mereka jarang datang kesini (lapangan)," ungkap salah satu security yang berjaga di pos pintu masuk.
Petaka Daerah Penyumbang Emas Hitam Terbesar
Kabupaten Muaraenim, merupakan daerah dengan cadangan batubara terbesar di Sumsel, dengan jumlah 38 persen dari total cadangan batubara di Sumsel.
Sumber daya dan cadangan batubara di Kabupaten Muaraenim, mencapai 10.310 juta ton dan cadangan 3.553 juta ton. Kemudian di urutan kedua ada Kabupaten Musi Banyuasin, dengan sumber daya 13.215 juta ton dan cadangan 1.479 jua ton, Kabupaten PALI dengan sumber daya 6.506 juta ton dan cadangan 1.620 juta ton, serta Kabupaten Lahat dengan sumber daya 2.541 juta ton dan cadangan 1.354 juta ton.
Pembukaan tambang batubara di Desa Tanjung Menang di Muaraenim. itu sendiri diproyeksikan untuk menyuplai PLTU Sumsel 1. Hanya saja kehadirannya dirasakan masyarakat di sekitar tambang tidak membawa dampak positif.
Riset Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) menyebut, selain deforestasi, batubara yang ditambang melalui metode open-pit menyebabkan daerah serapan air dekat sungai sekitar pertambangan akan menurun dan berpotensi memicu bencana turunan seperti banjir dan longsor.
Selain itu, berkurangnya lahan vegetasi menyebabkan terjadinya konflik hewan liar dengan manusia, dan polemik itulah yang saat ini terjadi di Desa Tanjung Menang.
Dari data tersebut, sebanyak 98 persen sumber daya dan 96 persen cadangan batubara di Sumsel, merupakan batubara kualitas rendah dan sedang. Dimana terdiri dari batubara dengan kualitas rendah dan memiliki rentang nilai kalori antara 953 kkal-5.325 kkal serta mengandung kadar air 18-35 persen.
Sementara, total wilayah pertambangan seluas 145.213 hektar (Geoportal ESDM, 2020) yang mana wilayah pertambangan tersebut dimiliki oleh perusahaan, baik pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) maupun IUP.
Atas fakta tersebut, sebagai salah satu wilayah yang sumber batubaranya tinggi, PLTU Sumsel 1 akan membuka mulut tambang sebagai langkah menekan biaya produksi sehingga rencana pembukaan tambang di desa Tanjung Menang Muaraenim, dilakukan karena masih berada di kawasan yang berdekatan dengan PLTU.
Keduanya mendapatkan dua izin berbeda karena di Sesa Tanjung Menang, hanya wilayah perkantoran dan pembangkit, sementara desa tetanggnya yang dijadikan mulut tambang.
Terpisah, Koordinator Perkumpulan Sumsel Bersih, Bonifasius Ferdinandus Bangun menjelaskan, biasanya sebelum membuka mulut tambang perusahaan akan melakukan analisis potensi batubara terlebih dahulu baru dibuatlah mulut tambang.
Dalam kasus di Desa Tanjung Menang, kendalanya ada pada pembebasan lahan yang sebagian besar merupakan kebun maupun pertanian. Kompensasi yang diberikan perusahaan masih menemui jalan buntu tatkala warga yang bergantung pada komoditas karet dan sawit diberi dengan harga murah.
"Lahan di sana sebenarnya masih masuk kawasan hutan produksi juga, dan keberadaan masyarakat sudah ada sejak dahulu sebelum masuknya tambang. Seharusnya pemerintah lebih bijak memberi izin pembukaan tambang terhadap perusahaan. Karena masyarakat sudah terlebih dahulu diberi izin wilayah kelola melalui skema perhutanan sosial atau sebagainya," terangnya.
Menurutnya, masuknya izin tambang memicu konflik dengan warga setempat. Walaupun kawasan hutan itu sebenarnya tanggung jawab negara, namun realitanya kawasan hutan ini sudah turun temurun dikuasai masyarakat dengan dirambah dan dibiarkan pemerintah. Setelah bertahun-tahun masyarakat di sana, kemudian ada investasi masuk barulah konflik ini terjadi.
"Negara tidak melihat kalau di sana sudah ada masyarakat yang terlebih dahulu menggarap. Kalau negara bilang salahnya masyarakat yang meletakkan ekonomi di hutan, harusnya dari awal masyarakat sudah mulai ditertibkan pemerintah," kata Boni.
Ia menyoal, pengeluaran izin tidak semata-mata melihat di atas peta di sana terdapat kawasan hutan, apalagi hutan produksi yang izin tambangnya bisa dikeluarkan kapan saja.
“Persoalannya adalah di dalam kawasan tersebut ada manusia, atau masyarakat yang sejak lama bermukin di sana. Dulu (zaman Pesirah) masyarakat sudah menempati lahan turun menurun, harusnya diakui sebagai warisan adat dan dikeluarkan dari kawasan hutan,” tutupnya.
'Liputan ini merupakan kolaborasi dengan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) dalam rangkaian fellowship ‘Pentingnya Coal Phase-Out dalam Upaya Penanggulangan Krisis Iklim di Indonesia'.