Jakarta, Gatra.com - Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie memberikan pujian atas gugatan yang diajukan mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) terhadap putusan MK yang mengabulkan gugatan batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres).
Jimly pun menyebut mahasiswa pemohon perkara bernomor 141/PUU-XXI/2023 kreatif, dan bahkan telah membuat sejarah baru dalam konteks konstitusi di Tanah Air. Pasalnya, dalam gugatan tersebut, pemohon meminta MK melakukan uji materi terhadap undang-undang pascaputusan MK dengan komposisi delapan hakim konstitusi.
"Ini menarik yang diajukan Mahasiswa Unusia ini. Jadi ya, ini kasus pertama. Undang-undang yang sudah diputus oleh MK, diuji lagi. Ini bisa nebis in idem, tapi saya sudah dapat ini. Ini sudah diregistrasi oleh MK. Diajukan oleh mahasiswa, namanya Brahma Aryana, menjadi perkara 141/PUU-XXI/2023," kata Jimly dalam persidangan, di Gedung MK RI, Jakarta, pada Kamis (2/11).
Ketua MK pertama di Indonesia itu menyebut gugatan tersebut sebagai suatu hal yang penting. Sebab, menurutnya, ini adalah pertama kalinya sebuah permohonan uji materi masuk untuk menggugat undang-undang pascaputusan MK yang telah diubah dalilnya.
Jimly juga menyinggung permohonan tambahan yang diajukan oleh pemohon dalam perkara 141/PU-XXI/2023 itu. Di mana, pemohon meminta agar Hakim Terlapor, dalam hal ini Ketua MK Anwar Usman, untuk tidak ikut memutus perkara. Menurutnya, permohonan itu sama sekali tidak melanggar peraturan dan bahkan telah diatur dalam undang-undang.
Jimly pun mengutip Pasal 17 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa pihak yang diadili memiliki hak ingkar terhadap hakim yang mengadili perkaranya. Dengan demikian, maka pemohon memiliki hak menolak untuk diperiksa oleh hakim konstitusi yang tidak dipercayai oleh pihak tersebut.
"Maka, nanti majelis hakimnya cuma delapan. Maka, Anda bisa bayangkan, karena ini perdebatannya itu 4:5 [hakim konstitusi], ya akan berubah komposisi. Gitu loh. Ini kreatif. Mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama perlu kita apresiasi," tegas Jimly.
Namun demikian, Jimly menyayangkan karena gugatan tersebut baru diterima baru-baru ini. Ia berharap, gugatan itu dapat dilakukan segera setelah putusan itu dibacakan pada Senin (16/10) silam.
Hanya saja, menurutnya, keterlambatan itu tak dapat menampik bahwasanya gugatan itu dapat membuat sejarah sebagai gugatan pertama yang menguji materi undang-undang pascaputusan MK dengan komposisi hakim yang berbeda. Ia juga menekankan bahwa gugatan tersebut harus disidangkan karena telah diterima dan diregistrasi.
"Nah, Anda ini membuat sejarah ini. Bagus ini! Saya sebagai Ketua MK pertama dan Ketua MKMK ini mengapresiasi Saudara," ucap Jimly.
Sebagaimana diketahui, sederet laporan dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi terus masuk sejak diputuskannya perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru. Para pelapor menilai, putusan tersebut kental akan muatan konflik kepentingan yang melibatkan Ketua MK Anwar Usman.
Pasalnya, gugatan itu erat kaitannya dengan pengusungan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka, yang merupakan putra Presiden RI Joko Widodo dan keponakan Anwar, yang kini maju sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Para pelapor pun menganggap pengabulan gugatan itu telah memuluskan langkah Gibran untuk melenggang sebagai cawapres. Sebab, dengan dikabulkannya gugatan tersebut, maka syarat batas usia capres-cawapres mengalami perubahan, dari yang semula ditetapkan minimal 40 tahun menjadi minimal 40 tahun atau pernah menjabat sebagai kepala daerah di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Di samping itu, MK juga banyak disorot karena telah terjadi perubahan putusan dalam waktu yang singkat. Sebab, sebelum mengabulkan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, MK telah lebih dulu menolak tiga perkara dengan gugatan serupa dalam rangkaian sidang yang sama. MK menilai, gugatan yang diajukan dalam tiga perkara itu tidak beralasan menurut hukum.
Salah satunya ialah gugatan yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang meminta batas usia capres-cawapres diturunkan menjadi 35 tahun. Sementara itu, dua gugatan lainnya ialah gugatan yang dilakukan Partai Garuda dan sejumlah pimpinan daerah dengan mengajukan syarat alternatif "pernah menjadi pejabat negara" di samping batas usia minimal.