Jakarta, Gatra.com- Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) tengah menggelar serangkaian sidang terkait laporan dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi buntut putusan MK untuk mengabulkan gugatan nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres). Adapun, sidang itu digelar sejak Kamis (26/10) silam.
Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie mengungkapkan, setidaknya ada sembilan isu berbeda yang termaktub dalam sederet laporan yang diajukan berbagai pihak terkait peristiwa tersebut. Ia pun telah merangkum kesembilan isu itu.
"Jadi, yang Anda persoalkan hari ini, utamanya itu soal Hakim tidak mengundurkan diri, padahal dalam perkara yang dia punya kepentingan, perkara yang dia punya hubungan keluarga. Ini satu," kata Jimly dalam sidang pendahuluan pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi, di Gedung MK RI, Jakarta, pada Rabu (1/11).
Seperti diketahui, sejumlah pihak menilai Ketua MK Anwar Usman memiliki konflik kepentingan dalam perkara terkait batas usia minimal capres-cawapres. Pasalnya, gugatan itu erat kaitannya dengan pengusungan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka, yang merupakan putra Presiden RI Joko Widodo dan keponakan Anwar, yang kini maju sebagai cawapres pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Dengan dikabulkannya perkara tersebut, maka syarat batas usia capres-cawapres mengalami perubahan, dari minimal 40 tahun, menjadi minimal 40 tahun atau pernah menjabat sebagai kepala daerah di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Para pelapor pun menganggap pengabulan gugatan itu telah memuluskan langkah Gibran untuk melenggang sebagai cawapres.
"Kedua, ini yang paling banyak dipersoalkan. Hakim membicarakan substansi berkaitan dengan materi perkara yang sedang diperiksa. Apapun alasannya, begitu dia bicara di ruang publik, padahal ini isunya sedang jadi perkara di majelis, ini dipersoalkan oleh para pelapor," ucap Jimly.
Ketiga, ada pula isu terkait adanya hakim konstitusi yang menyatakan perbedaan pendapat (dissenting opinion) dalam sidang putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, namun perbedaan pendapat yang disampaikan justru tak sepenuhnya berkenaan dengan substansi putusan. Hakim itu justru dinilai telah mencurahkan perasaannya terkait proses pemeriksaan perkara.
"Jadi, dissenting opinion itu kan perbedaan pendapat tentang substansi, tapi di dalamnya juga ada keluh kesah yang menggambarkan ada masalah dalam mekanisme pengambilan keputusan. Padahal itu adalah internal," kata Jimly.
Keempat, Mantan Ketua MK RI itu juga mencatat adanya laporan mengenai adanya hakim konstitusi yang buka suara mengenai permasalahan internal MK di muka publik dengan alasan sudah tak kuat lagi 'menahan diri' atas problema tersebut. Perilaku itu pun dilaporkan karena dianggap menyalahi kode etik dan dinilai menimbulkan ketidakpercayaan bagi masyarakat.
Kelima, adanya dugaan pelanggaran prosedur, mulai dari registrasi hingga persidangan, karena diduga dilakukan berdasarkan perintah Ketua MK maupun hakim konstitusi. Laporan inilah yang menurut Jimly akan pihaknya periksa dengan turut memanggil panitera MK.
Keenam, ada pula isu mengenai pembuatan MKMK yang dianggap lambat meski telah diperintahkan oleh Undang-undang. Laporan mengenai pembentukan MKMK itu juga turut menyinggung pembentukan Dewan Etik Hakim Konstitusi yang disebut cenderung "mati suri" dalam dua tahun terakhir.
Ketujuh, laporan mengenai manajemen persidangan di MK yang dianggap kacau. Utamanya dalam mekanisme pengambilan keputusan. Kedelapan, adanya dugaan bahwa MK dijadikan alat politik praktis, sehingga membuka peluang intervensi dengan nada kesengajaan dari pihak luar MK.
Kesembilan, ada pula isu yang mempersoalkan pemberitaan di suatu media yang menguak permasalahan internal MK terkait putusan perkara 90/PUU-XXI/2023 dengan sedemikian rinci. Tak hanya itu, bahkan ada pula pelapor yang mengaku mengetahui persoalan internal MK secara detail karena telah mendengarnya sendiri.
"Artinya ada masalah serius di dalam. Kan enggak boleh yang rahasia kok ketahuan? Kayak CCTV. Kayak Pak Petrus (salah satu pelapor dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi) ini punya CCTV, nonton bagaimana berdebatnya hakim. Sampe begitu kok tahu semua? Berarti ada masalah. Sumber dri dalam," ucap Jimly.