La Paz, Gatra.com - Pemerintah Bolivia mengatakan pihaknya telah memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel pada hari Selasa. Pemerintah mereka menuduh Israel melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam serangannya di Jalur Gaza.
“Bolivia telah memutuskan hubungan diplomatik dengan negara Israel sebagai penolakan dan kecaman atas serangan militer Israel, yang agresif dan tidak proporsional yang terjadi di Jalur Gaza,” Wakil Menteri Luar Negeri, Freddy Mamani mengumumkan pada konferensi pers, dikutip Reuters, Selasa (31/10).
Mamani menambahkan bahwa Bolivia menyerukan gencatan senjata dan diakhirinya blokade yang mencegah masuknya makanan, air, dan elemen penting lainnya bagi kehidupan.
Menteri Luar Negeri Sementara Maria Nela Prada mengatakan keputusan itu mengacu pada kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan di Jalur Gaza terhadap rakyat Palestina.
Kementerian luar negeri Israel tidak segera menanggapi permintaan komentar.
Bolivia adalah salah satu negara pertama yang secara aktif memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel karena perang di Gaza.
Negara Amerika Selatan ini sebelumnya telah memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel pada tahun 2009 di bawah pemerintahan Presiden sayap kiri Evo Morales, juga sebagai protes atas tindakan Israel di Gaza.
Pada tahun 2020, pemerintahan Presiden sementara sayap kanan Jeanine Anez membangun kembali hubungan.
Pengumuman pada hari Selasa itu muncul beberapa jam setelah Morales melalui media sosial menekan Presiden saat ini Luis Arce, untuk mengutuk Israel dan menyatakannya sebagai negara teroris.
Pada hari Senin, Arce bertemu dengan duta besar Palestina untuk Bolivia.
“Kami menolak kejahatan perang yang dilakukan di Gaza. Kami mendukung inisiatif internasional untuk menjamin bantuan kemanusiaan, sesuai dengan hukum internasional,” kata Arce di media sosial, Senin.
Otoritas kesehatan Gaza mengatakan bahwa 8.525 orang, termasuk 3.542 anak-anak, telah tewas dalam serangan Israel sejak 7 Oktober. Para pejabat PBB mengatakan lebih dari 1,4 juta penduduk sipil Gaza atau sekitar 2,3 juta jiwa telah kehilangan tempat tinggal.
Militer Israel menuduh Hamas, yang menguasai wilayah pesisir yang sempit, menggunakan bangunan sipil sebagai perlindungan bagi para pejuang, komandan dan persenjataan, tuduhan yang dibantah oleh Hamas.