Jakarta, Gatra.com - Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) RI Denny Indrayana mengungkapkan harapannya kepada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dalam memutus perkara dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi buntut putusan MK yang mengabulkan salah satu gugatan mengenai batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres).
Ia berharap, agar pembentukan MKMK dalam menengahi permasalahan tersebut dapat menjadi solusi untuk melakukan koreksi mendasar. Pasalnya, ia menganggap perkara tersebut sebagai sebuah mega skandal, karena berkaitan dengan tiga elemen tertinggi di dalam negeri.
Ketiganya yakni Ketua MK (The First Chief Justice), dilakukan untuk kepentingan langsung keluarga Presiden RI (The First Family), serta untuk menduduki sebuah posisi di lembaga kepresidenan (The First Office).
"Bukan hanya menjatuhkan sanksi etis lupa pemberhentian dengan tidak hormat Hakim terlapor, tapi yang lebih penting adalah menilai, dan membuka ruang koreksi atas putusan 90 yang telah direkayasa dan dimanipulasi oleh hakim terlapor," kata Denny Indrayana saat menghadiri sidang MKMK terkait laporan dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi yang pihaknya ajukan, di Gedung MK RI, Jakarta, pada Selasa (31/10).
Selain Anwar Usman, Denny juga menyebutkan dugaan akan adanya kekuatan kekuasaan yang mendesain kejahatan berencana dan terorganisir (planned and organized crime) dalam putusan akan gugatan tersebut. Namun demikian, ia tak menjelaskan secara detail mengenai kekuatan kekuasaan yang dimaksudnya
"Itu sebabnya pelapor dengan penuh kerendahan hati berdoa agar Majelis Kehormatan yang mulia berkenan menggunakan amanah yang sekarang ada di pundak Majelis yang mulia, untuk bukan hanya menyelamatkan konstitusi atau Pilpres 2024, tapi lebih jauh menyelamatkan negara Indonesia," ujar Denny.
Sebagaimana diketahui, hingga Senin (30/10) malam, tercatat ada 18 laporan yang masuk dari berbagai pihak, sebagai buntut dari putusan batas usia minimal capres-cawapres. Nama pihak yang paling banyak dipermasalahkan dalam belasan laporan tersebut ialah Anwar Usman.
Salah satunya adalah laporan yang diajukan oleh Denny Indrayana bersama guru besar serta pengajar Hukum Tata Negara (HTN) dan Hukum Administrasi Negara (HAN) yang tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS) pada beberapa waktu lalu.
Mereka tercatat telah melaporkan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) RI Anwar Usman kepada Majelis Kehormatan MK (MKMK) atas dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi atas pengabulan gugatan nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut.
Adapun, gugatan yang diajukan dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 meminta agar batas usia minimal capres-cawapres tetap pada usia 40 tahun, kecuali apabila seorang figur yang hendak mencalonkan diri pernah menjabat sebagai Kepala Daerah di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
Putusan MK itu mengundang sejumlah gelombang protes dari sejumlah pihak, tak terkecuali dari Hakim Konstitusi Saldi Isra yang secara langsung menyatakan perbedaan pendapatnya di muka sidang. Saldi bahkan mengaku bingung dengan perubahan keputusan MK yang terjadi pada hari yang sama, sebab perubahan secepat itu disebut tak pernah terjadi sebelumnya.
Seperti diketahui, sebelum mengabulkan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, MK telah lebih dulu menolak tiga perkara dengan gugatan serupa dalam rangkaian sidang yang sama. MK menilai, gugatan yang diajukan dalam tiga perkara itu tidak beralasan menurut hukum.
Salah satunya ialah gugatan yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang meminta batas usia capres-cawapres diturunkan menjadi 35 tahun. Sementara itu, dua gugatan lainnya ialah gugatan yang dilakukan Partai Garuda dan sejumlah pimpinan daerah dengan mengajukan syarat alternatif "pernah menjadi pejabat negara" di samping batas usia minimal.