Home Hukum TPDI Nilai Putusan MK soal Usia Capres-Cawapres Tak Final and Binding

TPDI Nilai Putusan MK soal Usia Capres-Cawapres Tak Final and Binding

Jakarta, Gatra.com – Koordinator Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara dan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus, menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas usia Capres-Cawapres tidak bersifat final dan mengikat (final and binding) sehingga pencawapresan Gibran Rakabuming Raka batal demi hukum.

“Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 kehilangan sifat final and binding saat diucapkan sehingga pencawapresan Gibran batal demi hukum,” ujarnya di Jakarta, Senin (30/10).

Perus menyampaikan, putusan MK tersebut merusak marwah MK sehingga MK diplesetkan sebagai Mahkamah Keluarga karena 9 hakim konstitusi tersandera kemandiriannya oleh perilaku Hakim Konstitusi Anwar Usman yang memiliki konflik kepentingan terkait perkara uji materiil Pasal 169 huruf q UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terhadap UUD 1945.

Petrus mengungkapkan, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) mulai dicoba diintimidasi pihak lain di luar MK. Pernyataan Jubir Partai Gerindra, Munafrizal Manan, dalam keterangan tertulis yang diterima beberapa Media (27/10/2022), mewanti-wanti Ketua MKMK, Prof. Jimly Asshiddiqie, agar tidak membuat gaduh dalam memutus hasil pemeriksaan etik sembilan hakim konstitusi.

“Dia mengingatkan bahwa putusan MK itu final dan mengikat sehingga tidak bisa dibatalkan, ini sebagai konklusi yang sesat dan membodohi publik,” ujarnya.

Menurut Petrus, pernyataan tersebut merupakan bentuk pemaksaan kehendak untuk mengintervensi MKMK dalam memproses laporan pelanggaran Kode Etik Hakim Konstitusi Anwar Usman, yang juga ipar Presiden Jokowi dan sekaligus paman Girbran dan Kaesang.

Petrus mengungkapkan, harusnya partai pengusung Gibran tersebut tahu bahwa putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, tanggal 16 Oktober 2023, itu ibarat bayi yang lahir mati. Alasannya, karena pada saat amarnya diucapkan Anwar Usman, maka saat itu juga putusan MK dimaksud langsung berstatus sebagai putusan yang tidak sah karena melanggar norma Pasal 17 Ayat (5) UU No.48 Tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman.

Secara norma, lanjut Petrus, hanya ada dua alasan yang membuat Putusan MK kehilangan sifat final and binding. Pertama, jika Ketua Majelis Hakim Konstitusi tidak memenuhi ketentuan Pasal 28 Ayat (5) UU No. 24 Tahun 2003, yaitu putusan MK diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, dan Pasal 28 Ayat (6), tentang MK, yang menyatakan "tidak terpenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud Ayat (5) berakibat putusan MK tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

“Kedua, jika terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 17 Ayat (5) maka sesuai ketentuan Pasal 17 Ayat (6) UU No.48 Tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman, maka putusan Hakim Konstitusi dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” ujarnya.

Dengan demikian, ujar Petrus dalam siaran pers, putusan MK No.90/PUU-XXI/ 2023, tanggal 16 Oktober 2023 sejak tanggal 16 Oktober 2023, seketika itu juga setelah dibacakan, saat itu juga atas kekuatan Pasal 17 Ayat (6) UU No.7 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, maka putusan MK No.90/PUU-XXI/ 2023 menjadi tidak sah dengan segala akibat hukumnya.

“Arti dengan segala akibat hukumnya, adalah segala hal terkait pencawapresan Gibran berpasangan dengan Prabowo Subianto sebagai Capres-Cawapres 2024 adalah tidak sah,” ujarnya.

Begitu pula dengan KPU dalam keputusannya nanti mestinya menolak mengesahkan pasangan Capres dan Cawapres Prabowo Subianto dan Gibran karena Gibran belum memenuhi syarat umur 40 tahun.

Karena itu, KPU tidak perlu membuat atau mengubah PKPU untuk melaksanakan putusan MK No.90/PUU-XXI/2023, tanggal 16 Oktober 2023, karena putusan MK dimaksud tidak sah sejak diucapkan. KPU harus berani mengambil posisi menolak Pencawapresan Gibran dan memberi kesempatan kepada partai Koalisi Indonesia Maju (KIM) untuk mengganti Bacawapres, apakah Airlangga Hartarto atau Zulkifli Hasan atau siapapun.

“Sebagai partai politik yang berkewajiban memberikan pendidikan politik, maka Partai Gerindra harus hentikan model intervensi secara terbuka atau tertutup, langsung atau tidak langsung terhadap MK, apalagi kepada MKMK,” ujarnya.

Apapun itu, kata Petrus, MKMK merupakan sebuah organ pengawasan yang keberadaannya diatur di dalam Pasal 23 UU No. 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstutisi dengan tugas utama menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan Kode Etik Hakim Konstitusi, karenanya siapapun tidak boleh intervensi.

“Harus hentikan segala bentuk intervensi kepada MK dan MKMK,” tandas Petrus.

250