Home Nasional Sembilan Tahun Jokowi: Pencapaian dan Keberhasilan, Kritik dan Suara Rakyat

Sembilan Tahun Jokowi: Pencapaian dan Keberhasilan, Kritik dan Suara Rakyat

Jakarta, Gatra.com – Sembilan tahun lalu, 20 Oktober 2014, Joko Widodo resmi menjabat presiden ketujuh Indonesia. Terlahir sebagai warga biasa, Jokowi menjadi Presiden Indonesia pertama yang bukan dari elite partai politik atau perwira militer. Lelaki kelahiran Surakarta, 21 Juni 1961 itu memiliki garis nasib menjadi orang nomor satu Indonesia setelah karier politiknya menanjak sebagai Wali Kota Solo (2005-2012) dan Gubernur DKI Jakarta (2012-2014).

Jokowi memenangkan hati masyarakat dengan pendekatannya yang “membumi”. Bagi banyak orang, Jokowi menjadi simbol pemimpin yang ulet dan pekerja keras. Ia pernah menjadi pengusaha mebel dan mencicip “asam garam” kehidupan. Selama memimpin daerah, ia setiap hari meninggalkan kantor, blusukan ke rumah-rumah warga, dan masuk gorong-gorong.

Presiden Joko Widodo (ANTARA Foto/ Hafidz Mubarak A.)

Kini, sembilan tahun berlalu, Jokowi memimpin Indonesia lewat Kabinet Kerja dan Kabinet Indonesia Maju. Ia bertekad menjadikan Indonesia berkemajuan dan lebih baik di masa datang. “Indonesia saat ini punya peluang besar untuk meraih Indonesia Emas 2045, meraih posisi jadi negara lima besar kekuatan ekonomi dunia. Tidak hanya peluangnya saja, tetapi strategi untuk meraihnya sudah ada, sudah dirumuskan,” ujar orang nomor satu Indonesia itu.

Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko menyatakan, dalam periode kedua kepemimpinan Jokowi dan empat tahun pemerintahan Kabinet Indonesia Maju (KIM) dari Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin banyak kemajuan yang dicapai.

Moeldoko menyebut, pemerintah konsisten menjalankan lima strategi untuk memperkuat pondasi Indonesia menjadi negara maju. Lima strategi tersebut: pembangunan sumberdaya manusia, pembangunan sumber daya manusia (SDM), pembangunan infrastruktur, reformasi birokrasi, transformasi ekonomi, dan pembenahan regulasi.

“Selama sembilan tahun terakhir stabilitas [pemerintahan] kita terjaga dengan baik karena tanpa stabilitas yang baik, jangan bermimpi ada investasi masuk. Perlu kita jaga terus agar kepercayaan publik dan dunia internasional tetap terjaga,” ujar Moeldoko dalam keterangannya di Jakarta, 20 Oktober 2023.

Moeldoko menyatakan, salah satu indikator keberhasilan pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, yakni menjaga pertumbuhan ekonomi yang konsisten yang mencapai 5,3%. Pertumbuhan itu disokong kinerja ekspor yang kuat dan ekonomi domestik yang stabil. Tingkat pengangguran berhasil ditekan menjadi 5,45 persen dalam kurun waktu dua tahun. Alhasil, Indonesia “naik kelas”, dan berhasil masuk kelompok negara berpendapatan menengah ke atas pada 2022.

Ketangguhan itu, lanjut Moeldoko, tidak tumbuh begitu saja. Di bawah kepemimpinan Jokowi diperkenalkan semangat kerja: manuver membajak krisis, navigasi gas dan rem, serta kendali optimisme dimainkan. “Relokasi anggaran diikuti oleh taktik gas dan rem. Situasi naik [sulit] kegiatan direm. Situasi longgar [membaik], speed ditambah,” kata Moeldoko.

Ilustrasi Kinerja Jokowi (Doc. KSP)

Pengamat Kebijakan Publik, Wibisono memberikan catatan dan evaluasi terhadap sembilan tahun Pemerintahan Jokowi. Dalam perspektif ekonomi, Pembina Lembaga Pengawas Kinerja Aparatur Negara (LPKAN) itu menyatakan, periode pertama Jokowi ditandai dengan pembangunan infrastruktur yang pesat dan masif.

Bila Soeharto dikenal sebagai Bapak Pembangunan, maka Jokowi tepat disebut sebagai Bapak Infrastruktur. Hanya saja, Wibisono mengkritik pembangunan yang kencang tanpa mempertimbangkan aspek anggaran. “Pembangunan infrastruktur boleh dibilang bagus, banyak kemajuan. Namun, pembangunan infrastruktur tidak diimbangi dengan perhitungan yang matang terkait jumlah utang yang sangat besar dan mengkhawatirkan,” ujar Wibisono kepada Gatra.com pertengahan Oktober lalu.

Lelaki yang karib disapa Wibi itu membeber data bahwa posisi utang Indonesia terus mengalami peningkatan saban tahun. Menurut catatan LPKAN, utang Indonesia berada di angka Rp3.995 triliun (2017), Rp4.418 triliun (2018), Rp4.786 triliun (2019), Rp6.074 triliun (2020), Rp6.908 triliun (2021), Rp7.733 triliun (2022), dan Rp7.870 triliun (per 31 Agustus 2023).

Wibisono mengatakan, terdapat 248 proyek infrastruktur strategis nasional yang ditetapkan pemerintah merujuk Perpres Nomor 58 Tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN). Salah satu PSN yang mendapat sorotan publik, yakni pembangunan proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB).

Menurutnya, pembangunan KCJB semula dijanjikan tidak menggunakan APBN. Nyatanya, proyek KCJB mengalami cost overrun atau kelebihan biaya sebesar US$1,2 miliar atau setara Rp18,4 triliun. Nilai pembengkakan tersebut disepakati pemerintah Indonesia bersama China Development Bank (CDB).

Untuk mengatasi persoalan pembiayaan KCJB, pemerintah menggelontorkan Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp4,1 triliun kepada PT KAI untuk proyek KCJB pada 2021. Setahun setelahnya, pemerintah juga mengetok PMN sebesar Rp3,2 triliun kepada KAI untuk menambal pembengkakan biaya proyek KCJB dan mempercepat penyelesaian proyek.

“Presiden mengeluarkan Perpres Nomor 93 Tahun 2021 yang menjadi alas APBN untuk mendanai pembengkakan biaya kereta cepat tersebut. PMN digelontorkan untuk menambal biaya bengkak Proyek Kereta Cepat. Alhasil, proyek ini bukan saja amburadul dalam perencanaan tapi juga menjadi beban baru bagi keuangan negara,” kata Wibisono.

Mega proyek yang disoroti, yakni pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Sebelumnya, pemerintah dan DPR mengeluarkan payung hukum IKN merujuk pada UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara. Pembangunan ibu kota baru di Kalimantan Timur itu diperkirakan menelan anggaran sekitar Rp466 triliun hingga Rp486 triliun.

“Anggaran yang sangat besar bisa dimanfaatkan untuk sektor-sektor lainnya. Selain itu, proses pembahasan UU IKN sebagai landasan pembangunan IKN dinilai sangat terburu-buru dan tanpa kajian matang,” ujarnya.

Ilustrasi Kinerja Jokowi (Doc. KSP/ ANTARA Foto)

Isu lain yang mendapat sorotan yakni masalah kedaulatan pangan. Menurutnya, pemerintah masih gagal mewujudkan misi sebagai negara daulat pangan. Alih-alih mewujudkan kedaulatan, Indonesia malah menjadi pengimpor tetap untuk sejumlah komoditas mulai dari gula, beras, daging sapi, dan kedelai.

Hal yang turut menjadi persoalan yakni tidak adanya data stok pangan yang akurat. Sehingga, kerap terjadi miskoordinasi antara Kementerian Pertanian dengan badan pangan seperti Bulog. Kisruh kelangkaan minyak goreng di pasaran beberapa tahun terakhir menandakan kebijakan pangan dan tata niaganya belum mendapatkan “sentuhan” yang baik.

“Penyebab kedaulatan pangan belum juga bisa terwujud karena pemerintah tidak memiliki kebijakan pertanian dari hulu ke hilir yang komprehensif. Pemerintah juga gagal mengatur tata niaga kebutuhan pokok dan pangan masyarakat. Akibatnya pangan yang melimpah di waktu panen tidak terserap,” kata Wibisono.

Dalam perspektif politik, Wibisono menajamkan analisisnya terhadap penyelenggaran Pemilu 2019. Menurutnya, netralitas penyelenggara pemilu dan netralitas aparat negara menjadi penting diperhatikan. Pemilu yang jujur akan meminimalisir tuduhan kecurangan yang dialamatkan kepada lembaga negara juga menekan gugatan perselisihan hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK).

Jika persoalan netralitas diabaikan maka akan menimbulkan konflik horizontal yang berkepanjangan. Karena itu, penyelenggara pemilu yang terdiri dari KPU, Bawaslu, dan KPU harus membuktikan mereka berada di posisi netral, profesional, dan tidak memihak. “Apakah tuduhan kecurangan akan terulang kembali pada Pemilu 2024? Saya sangat pesimis melihat kondisi demokrasi kita saat ini dibayang-bayangi kecurangan dan politik dinasti, serta cenderung memaksakan pasangan calon tertentu untuk dimenangkan,” ujarnya.

Di bidang hukum, Wibisono mencermati penurunan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia. Merujuk laporan Transparancy International Indonesia (TII), data IPK Indonesia pada 2022 mengalami penurunan peringkat dari 38 poin menjadi 34 poin. Teranyar, sejumlah kasus korupsi juga membelit menteri di kabinet Jokowi, seperti Menkominfo Johny G. Plate dan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. “Persoalan hukum masih menyisakan masalah yang serius dan rapor merah terkait pemberantasan korupsi yang masih tebang pilih,” katanya.

Peristiwa hukum yang dinilai serius di akhir pemerintahan Jokowi yakni putusan MK terkait gugatan uji materi UU Pemilu terkait batas usia capres dan cawapres yang dinilai memuluskan jalan putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka dalam kontestasi Pilpres 2024. “Ini sangat merusak marwah MK yang gugatan yang dikabulkan jelas untuk melanggengkan politik dinasti Jokowi,” ujarnya.

Sementara dalam hal keamanan dan pertahanan negara, pemerintah masih dihadapkan dengan sejumlah persoalan. Seperti konflik di Papua, sengketa di Laut Cina Selatan (LCS), dan sengketa pulau pasir dengan Australia. "Isu global AUKUS pakta pertahanan yang digagas AS, Inggris, dan Australia juga perlu diwaspadai untuk keamanan wilayah perbatasan," tandasnya. 

4870