Jakarta, Gatra.com – Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Dr. I Dewa Gede Palguna, kukuh pada pandangannya bahwa batasan usia calon wakil presiden dan wakil presiden (Capres-Cawapres) adalah bukan ranah atau kewenangan MK.
“Pendapat saya sudah disampaikan di beberapa media, saya tidak ubah pendirian saya, bahwa umur itu adalah memang legal policy pembentuk UU dan seharusnya MK tidak masuk ke sana,” katanya selaku anggota majelis eksaminasi perkara Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 tentang Batas Usia Calon Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam eksaminasi publik yang dihelat secara haybrid dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta tersebut, Palaguna menegaskan, batas usia capres dan cawapres adalah kewenangan dari pembuat UU atau open legal policy, yakni DPR dan Pemerintah.
“Tidak ada dasar yang mengatakan bahwa penetapan umur pada seseorang menduduki jabatan tertentu, baik jabatan politik maupun nonpolitik itu urusan konstitusional, jadi tidak ada dasarnya,” ujar Palguna dilansir dari kanal Youtube Pusat Kajian Konstitusi, Demokrasi, dan HAM pada Sabtu (28/10).
Palaguna juga menyoal legal standing atau kedudukan hukum pemohon perkara batas usia capre-cawapres. Sesuai UU, untuk menjadi capres-cawapres itu harus diusulkan oleh partai politik (Parpol) atau gabungan parpol.
Menurutnya, jika pemohon hendak menjadi capres atau cawapres dan diajukan oleh parpol atau gabungan parpol, secara nalar yang logis dapat dipastikan tidak memenuhi syarat karena usianya belum mencukupi.
“Dissenting ini dengan contoh-contoh pejabat yang mempunyai umur kurang di bawah 40 tahun, dan kemudian spesifik menyebut wali Kota Solo sebagai idolanya dan sebagainya, apakah itu dapat dijadikan alasan tentang kerugian hak konstusional? Jawabannya pasti tidak,” ucap dia tegas.
Terlebih lagi, lanjut Palaguna, sudah ada putusan MK tentang hak konstitusi dan sebelumnya belum pernah diubah. Menurutnya, hak tersebut secara spesifik disebutkan secara faktual atau secara nalar yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
“Kemudian ada hubungan casualitas, kalau permohonan itu dikabulkan kerugian tidak akan terjadi. Kan itu yang mestinya diuraikan, dan atas dasar itu Mahkamah baru menerima atau menolak legal standing dari pemohon itu, ini tidak terlihat dalam putusan ini,” ujarnya.
Senada dengan anggota majelis eksaminasi Bivitri Susanti yang merupakan dosen Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Palaguna mensinyalir terjadi pelanggaran hukum acara di MK saat menangani perkara uji materi batas usia capres-cawapres tersebut.
Dugaan tersebut berdasarkan dissenting opinion atau perbedaan pendapat dari Hakim Konstitusi, Arif Hidayat, yang menyampaikan bahwa permohoman perkara tersebut sudah ditarik dan kemudian diajukan kembali, lalu diregister bukan pada hari kerja alias pada hari libur atau Minggu.
“Saya kira itu sudah melanggar hukum acara. Coba lihat di Pasal 35 UU MK, mulai dari Ayat (1), Ayat (1) (a): Pemohon dapat menarik kembali permohonan sebelum atau selama pemeriksan MK dilakukan,” ujarnya.
Kemudian Ayat (1) a-nya: Dalam hal pemohon menarik kembali permohonannya sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), panitera Mahkamah Konstitusi menerbitkan akta pembatalan registrasi permohonan dan memberitahukan kepada pemohon disertai dengan pengembalian berkas permohonan. Adapun Ayat (2)-nya: Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), mengakibatkan permohonan tidak dapat diajukan kembali.
“Kalau permohonan itu sudah ditarik, kalau kita ikuti di putusannya itu diakui adanya penarikan permohonan tersebut tapi mengapa Mahkamah merasa memandang penting untuk meminta konfirmasi perihal penarikan itu,” ujarnya.
Palaguna menjelaskan, kalau mengikuti hukum acara ?tentang penarikan permohonan, maka itu akan disampaikan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) dan dibuat penetapan. Dalam penetapan itu disebutkan permohonan tidak dapat diajukan lagi dan pengembalian berkas kepada pemohon.
“Ini kok ada pendaftaran kembali permohonan yang sudah ditarik, yang nyata-nyata menurut Pasal 35 Ayat (2) itu tidak dimungkinkan penarikan kembali sebagaimana dimaksudkan pada Ayat (1), mengakibatkan permohonan tidak dapat diajukan kembali,” ujarnya.
Palaguna mengatakan, ini menimbulkan pertanyaan dan pertanyaan tersebut tidak terjawab dalam putusan MK. Hal tersebut juga dipertanyakan oleh Hakim MK Arif Hidayat dalam dissenting opinion-nya.
Menurut Palaguna, ini menjadi tugas dari Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang dipimpin oleh Prof. Jimly Ashiddiqqie. MKMK tentunya akan menanyakan bagaimana itu bisa terjadi dan mengapa demikian karena itu diduga terkait dengan pelanggaran kode etik dan pedoman prilaku hakim, atau setidak-tidaknya prinsip kesaksamaan.
“Pasti atau seharusnya ditanyakan karena hakim MK itu bekerja, ada dua yang membatasi, pertama hukum acara dan kode etik perilaku. Itu yang akan mengontrol dia,” ujarnya.
Dari sana, apakah persidangan terbuka untuk umum perkara uji materi itu majelis menganut prinsip independensi, ketikakberpihakan, kecermatan atau kesaksamaan, dan seterusnya. Ini harus dilihat karena sudah menjadi prinsip universal bahwa keadilan bukan hanya ditegakkan tetapi harus benar-benar dapat dilihat bahwa keadilan itu ditegakkan, yakni ketika hakim memeriksa perkara.
Selain itu, Palaguna berpandangan bahwa sesuai Pasal 60 UU MK, maka materi ayat dalam suatu UU yang sudah diuji atau ditolak tidak dapat dimohonkan kembali ke MK. Memang ada pengecualan Ayat (1), namun jika ada terjadi perubahan materi dalam UUD 1945 yang menjadi landasan uji.
“Pertanyaannya, apakah terdapat dasar pengujian [UUD 1945] yang berbeda dalam permohonan a quo yang dieksaminasi sekarang,” katanya.
Palaguna juga mengaku heran karena dalam putusan perkara No. 90, MK sudah memutus norma tersebut melalui putusan pemohon sebelmnya. MK menolak permohoan pemohon soal batas usia capres karena itu merupakan open legal policy dari pembentuk UU dan karena itu MK tidak akan memasuki itu. “Menurut saya itu putusan yang benar,” ujarnya.
Ia heran karena karena alasan MK dalam perkara No. 90 tidak sejalan dengan putusan yang beberapa saat telah diketok. Kalau mengikuti dissenting opinion dari Hakim MK, Prof. Saldi Isra, kata Palaguna, itu hanya perbedaaan beberapa hari dan perbedaan komposisi hakim.
“Apakah itu alasan konstitusional dari yang tegas-tegas dan diputuskan Mahkamah bahwa norma UU yang dimohonkan tidak bertentangan dengan UU karena alasan itu adalah legal policy pembentuk UU, kemudian itu berubah pendirian,” katanya.
Palaguna mengaku tidak menemukan alasan mendasar dalam pertimbangan hukum putusan MK perkara Nomor 90. Meski demikian, ia meminta dikoreksi jika dirinya terlewat soal itu.
“Biasanya kalau MK akan mengubah pendiriannya pasti ada satu paragraf khusus setelah misalnya Mahkamah, terhadap perkara a quo Mahkamah telah menyatakan pendiriannya dalam perkara ini, ini, ini, dan dikutip pertimbangannya. Maka dengan demikian Mahkamah telah menyampaikan pendapat yaitu intisari dari yang dikutip tadi, itu adalah open legal policy,” katanya.
“Kenapa Mahkamah berubah pendiriannya dalam sekelebat. Mungkin publik bertanya-tanya, sebelum break, ditolak terus sekarang dikabulkan, bagaimana ceritanya itu? Ini akan menjadi pertanyaan,” ujarnya.
Ia kembali menegaskan, sepanjang mengikuti dan membaca putusan perkara No. 90, tidak terdapat argumen konstitusional MK dalam mengubah pendiriannya dari pertama yang mengatakan tidak bertentangan dengan UUD karena merupakan open legal policy pembentuk UU, kemudian berbalik 180 derajat menjadi mengabulkan.
Adapun Majelis Eksaminasi Publik terkait dengan perkara tentang Batas Syarat Usia Capres-Cawapres ini, terdiri Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unpad, Prof. Susi Dwi Harijanti; mantan Hakim MK, I Dewa Gede Palguna; Dosen Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti; Dosen Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (UI), Titi Angraeni; dan Ketua Majelis, Dosen Hukum Tata Negara UGM, Dr. Yance Arizona.
Sebagai informasi, sejumlah pihak mengajukan uji materi soal batas usia capres-cawapres, di antaranya Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menggugat aturan perundangan soal pembatasan usia capres-cawapres ke MK. PSI memohon agar batas usia minimal capres-cawapres diubah dari 40 tahun menjadi 35 tahun. Selain PSI, ada juga Partai Garuda, sejumlah pimpinan kepala daerah, dan mahasiswa Unsa Solo, Almas Tsaqibbirrul.
Aturan pembatasan usia capres-cawapres ini tertuang dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang berbunyi: “Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah q. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun”.