Jakarta, Gatra.com - Sebanyak 16 guru besar serta pengajar Hukum Tata Negara (HTN) dan Hukum Administrasi Negara (HAN) yang tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS), melaporkan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) RI Anwar Usman kepada Majelis Kehormatan MK (MKMK), atas dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi.
Laporan tersebut diajukan sebagai buntut dari putusan MK yang telah mengabulkan salah satu gugatan terkait batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres). Pelapor menduga, Anwar telah membiarkan lembaganya menjadi alat politik pragmatis dengan mengubah persyaratan batas umur minimal dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Dalam laporan tersebut, CALS didampingi para kuasa hukum dari sejumlah lembaga, yakni Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Indonesia Memanggil Lima Tujuh (IM57).
"Ada empat poin yang kami laporkan di sini yang ditujukan kepada Ketua MK Anwar Usman," kata Program Manager PSHK Indonesia Violla Reininda saat ditemui awak media di Gedung MK RI, Jakarta, pada Kamis (26/10).
Pertama, berkenaan dengan konflik kepentingan yang diduga terjadi ketika MK memeriksa dan mengadili perkara nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan MK untuk mengabulkan gugatan tersebut dinilai memberikan privilese pada Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka atau keponakan Anwar Usman, untuk maju sebagai cawapres.
Kedua, para pelapor menyebut Anwar Usman tidak memiliki kepemimpinan peradilan dalam memeriksa dan memutus perkara terkait. Pasalnya, Anwar dinilai tidak menaati hukum acara karena ada proses yang diduga dilakukan secara terburu-buru dan tanpa prosedur, terutama berkenaan dengan tidak diinvestigasinya kejanggalan berupa penarikan kembali permohonan.
Ketiga, berkaitan dengan kepemimpinan Anwar Usman ketika menghadapi adanya concurring opinion atau pendapat yang sama dengan argumentasi yang berbeda dari dua hakim konstitusi yang substansinya justru dipandang sebagai dissenting opinion atau perbedaan pendapat. Hal itu dipandang dapat menimbulkan keganjilan dalam putusan.
Keempat, berkenaan dengan komentar Anwar yang dinilai CALS membawa pesan 'dukungan' terhadap gugatan mengenai batas usia capres-cawapres dalam sebuah acara di Universitas Islam Sultan Agung, Semarang, Jawa Tengah. Tendensi dukungan itu ditunjukkan ketika MK belum memutus perkara tersebut.
"Untuk selanjutnya harapan kami agar perkara ini dapat diperiksa secara objektif oleh majelis kehormatan mahkamah konstitusi, kemudian kami juga mendorong adanya sikap kooperatif dari para hakim konstitusi yang potensial untuk dihadirkan sebagai saksi di dalam perkara ini," kata Violla.
"Kami mendorong bahwa proses ini ketika ditemukan adanya dugaan pelanggaran yang berat terutama terkait dengan conflict of interest (konflik kepentingan), bisa memberikan sanksi yang setara atau sanksi yang berat berupa pemberhentian secara tidak hormat," imbuhnya.
Sebagai informasi, 16 guru besar dan para pengajar HTN dan HAN itu di antaranya:
1. Prof. H. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D.
2. Prof. Dr. Hj. Hesti Armiwulan, S.H., M.Hum,C.M.C.
3. Prof. Muchamad Ali Safaat, S.H, M.H.
4. Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M., Ph.D
5. Dr. Aan Eko Widiarto, S.H., M.Hum.
6. Dr. Auliya Khasanofa, S.H., M.H.
7. Dr. Dhia Al Uyun, S.H., M.H.
8. Dr. Herdiansyah Hamzah, S.H., LL.M.
9. Dr. Herlambang P. Wiratraman, S.H, M.H.
10. Iwan Satriawan, S.H., MCL., Ph.D.
11. Richo Andi Wibowo, S.H., LL.M., Ph.D.
12. Dr. Yance Arizona, S.H., M.H., M.A.
13. Beni Kurnia Illahi, S.H., M.H.
14. Bivitri Susanti, S.H., LL.M.
15. Feri Amsari, S.H., M.H., LL.M.
16. Warkhatun Najidah, S.H., M.H.
Sebagaimana diketahui, pada Senin (16/10) silam, MK memutuskan untuk mengabulkan salah satu perkara yang menggugat syarat batas usia minimal capres-cawapres dalam Undang-undang Pemilu. Gugatan itu diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru dan dimuat dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.
Dalam gugatan itu, pemohon meminta agar batas usia minimal capres-cawapres tetap pada usia 40 tahun, kecuali apabila seorang figur yang hendak mencalonkan diri pernah menjabat sebagai Kepala Daerah di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
Putusan MK itu mengundang sejumlah gelombang protes dari sejumlah pihak, tak terkecuali dari Hakim Konstitusi Saldi Isra yang secara langsung menyatakan perbedaan pendapatnya di muka sidang. Saldi bahkan mengaku bingung dengan perubahan keputusan MK yang terjadi pada hari yang sama, sebab perubahan secepat itu disebut tak pernah terjadi sebelumnya.
Seperti diketahui, sebelum mengabulkan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, MK telah lebih dulu menolak tiga perkara dengan gugatan serupa dalam rangkaian sidang yang sama. MK menilai, gugatan yang diajukan dalam tiga perkara itu tidak beralasan menurut hukum.
Salah satunya ialah gugatan yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang meminta batas usia capres-cawapres diturunkan menjadi 35 tahun. Sementara itu, dua gugatan lainnya ialah gugatan yang dilakukan Partai Garuda dan sejumlah pimpinan daerah dengan mengajukan syarat alternatif "pernah menjadi pejabat negara" di samping batas usia minimal.