Jakarta, Gatra.com - Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Ashiddiqie buka suara terkait isu yang menyebut dirinya memiliki konflik kepentingan dalam proses penanganan laporan dugaan kasus pelanggaran kode etik dan perilaku hakim, buntut pengabulan salah satu gugatan terkait batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres). Ia mengaku, pada mulanya tak ingin menerima tawaran sebagai anggota MKMK.
"Saya juga dipersoalkan orang, ini. Saya kan anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah), anggota MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Makanya saya semula enggak bersedia ini (menjadi Anggota MKMK)," kata Jimly Ashiddiqie dalam rapat klarifikasi MKMK, di Gedung MK RI, Jakarta, pada Kamis (26/10).
Namun demikian, Jimly menyebut telah diyakinkan bahwa ketergabungannya dalam MKMK tak bersinggungan dengan konflik kepentingan. Ia pun mengaku 'kapok' untuk menjadi politisi.
"Saya diyakinkan tidak ada konflik kepentingan, karena [dibilangnya] Pak Jimly tidak nyalon lagi untuk pemilu yang akan datang. Saya sudah tobat masuk DPD, tuh. Saya bilang, ini sebaiknya kita bubarkan saja ini, tapi itu soal lain ya," ujar Jimly.
Seperti diketahui, keanggotaan Jimly dalam MKMK banyak mengundang respons publik yang menyebut dirinya memiliki konflik kepentingan terkait laporan yang dipersoalkan.
Pasalnya, Jimly pernah menjadi anggota legislatif dan pernah menyatakan dukungannya terhadap Bakal calon presiden (Bacapres) Prabowo Subianto dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Selain itu, ia juga memiliki seorang putra yang merupakan kader dari Partai Gerindra yang saat ini dipimpin oleh Prabowo.
Meski demikian, Jimly memastikan bahwa keikutsertaannya dalam mengurus laporan dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi itu tak berkenaan dengan konflik kepentingan. Ia justru mengaku memiliki beban moral karena citra MK yang dipandangnya memburuk dalam beberapa waktu terakhir buntut pengabulan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.
"Artinya tidak ada konflik kepentingan karena saya tidak nyalon lagi sehingga nanti waktu perselisihan hasil pemilu tidak ada masalah. Apalagi saya punya beban sejarah, belum pernah MK terpuruk image-nya kayak sekarang. Saya sebagai pendiri tidak tega. Maka saya bersedia ini," tuturnya.
Sebagaimana diketahui, pada Senin (16/10) silam, MK memutuskan untuk mengabulkan salah satu perkara yang menggugat syarat batas usia minimal capres-cawapres dalam Undang-undang Pemilu. Gugatan itu diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru dan dimuat dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.
Dalam gugatan itu, pemohon meminta agar batas usia minimal capres-cawapres tetap pada usia 40 tahun, kecuali apabila seorang figur yang hendak mencalonkan diri pernah menjabat sebagai Kepala Daerah di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
Putusan MK itu mengundang sejumlah gelombang protes dari sejumlah pihak, tak terkecuali dari Hakim Konstitusi Saldi Isra yang secara langsung menyatakan perbedaan pendapatnya di muka sidang. Saldi bahkan mengaku bingung dengan perubahan keputusan MK yang terjadi pada hari yang sama, sebab perubahan secepat itu disebut tak pernah terjadi sebelumnya.
Seperti diketahui, sebelum mengabulkan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, MK telah lebih dulu menolak tiga perkara dengan gugatan serupa dalam rangkaian sidang yang sama. MK menilai, gugatan yang diajukan dalam tiga perkara itu tidak beralasan menurut hukum.
Salah satunya ialah gugatan yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang meminta batas usia capres-cawapres diturunkan menjadi 35 tahun. Sementara itu, dua gugatan lainnya ialah gugatan yang dilakukan Partai Garuda dan sejumlah pimpinan daerah dengan mengajukan syarat alternatif "pernah menjadi pejabat negara" di samping batas usia minimal.