Home Hukum Sidang Pelanggaran Kode Etik Hakim MK, Jimly Ashiddiqie: Isu Ini Isu yang Berat

Sidang Pelanggaran Kode Etik Hakim MK, Jimly Ashiddiqie: Isu Ini Isu yang Berat

Jakarta, Gatra.com - Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menggelar rapat perdana terkait laporan dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi, buntut putusan MK untuk mengabulkan gugatan batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres).

Ketua MKMK Jimly Ashiddiqie pun menyatakan, meski sidang perdana itu digelar dengan substansi sidang pendahuluan, namun sidang tersebut akan dinamai rapat klarifikasi, agar tak dianggap melanggar prosedur MK yang baru. Jimly mengatakan, persidangan itu dilaksanakan untuk memastikan respons cepat terhadap isu yang tengah berkembang di masyarakat pascaputusan atas gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 itu.

"Ini juga untuk memastikan respon yang cepat karena isu ini isu yang berat. Isu serius dan sangat terkait dengan jadwal waktu pendaftaran capres dan jadwal waktu verifikasi oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan penetapan final dari pasangan capres, sedangkan di materi laporan ada yang menuntut supaya putusan MK dibatalkan," kata Jimly dalam rapat klarifikasi MKMK, di Gedung MK RI, Jakarta, pada Kamis (26/10).

"Nah, nanti dulu soal benar tidaknya, tapi ini menunjukkan ada kegawatan dari segi waktu," imbuhnya.

Jimly pun mengatakan bahwa pihaknya telah mempelajari sederet laporan yang masuk, meski baru dilantik pada Rabu (25/10) kemarin. Ia menyebut, sederet laporan bahkan telah masuk sejak Agustus 2023, atau jauh sebelum gugatan tersebut diputus. Hanya saja, menurutnya, belum ada satu pun laporan tersebut yang telah memiliki tanda terima.

"Nah, ini kan jadi masalah. Maka, kita putuskan, kita percepat untuk menunjukan kepada publik, kita konsen pada waktu ini," ucap Jimly.

Sebagaimana diketahui, pada Senin (16/10) silam, MK memutuskan untuk mengabulkan salah satu perkara yang menggugat syarat batas usia minimal capres-cawapres dalam Undang-undang Pemilu. Gugatan itu diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru dan dimuat dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.

Dalam gugatan itu, pemohon meminta agar batas usia minimal capres-cawapres tetap pada usia 40 tahun, kecuali apabila seorang figur yang hendak mencalonkan diri pernah menjabat sebagai Kepala Daerah di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.

Putusan MK itu mengundang sejumlah gelombang protes dari sejumlah pihak, tak terkecuali dari Hakim Konstitusi Saldi Isra yang secara langsung menyatakan perbedaan pendapatnya di muka sidang. Saldi bahkan mengaku bingung dengan perubahan keputusan MK yang terjadi pada hari yang sama, sebab perubahan secepat itu disebut tak pernah terjadi sebelumnya.

Seperti diketahui, sebelum mengabulkan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, MK telah lebih dulu menolak tiga perkara dengan gugatan serupa dalam rangkaian sidang yang sama. MK menilai, gugatan yang diajukan dalam tiga perkara itu tidak beralasan menurut hukum.

Salah satunya ialah gugatan yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang meminta batas usia capres-cawapres diturunkan menjadi 35 tahun. Sementara itu, dua gugatan lainnya ialah gugatan yang dilakukan Partai Garuda dan sejumlah pimpinan daerah dengan mengajukan syarat alternatif "pernah menjadi pejabat negara" di samping batas usia minimal.

103