Jakarta, Gatra.com- Kementerian Kesehatan mengonfirmasi, kasus cacar monyet atau Monkeypox di Indonesia bertambah menjadi 7 kasus per tanggal 22 Oktober 2023. Kasus konfirmasi ini berlaku sejak pertama kali dilaporkan pada 13 Oktober 2023 atau 8 kasus sejak pertama kali terkonfirmasi di pertengahan 2022.
Berkaitan dengan hal tersebut, pengamat kesehatan Prof Tjandra Yoga Aditama mengatakan bahwa dengan adanya laporan ini, banyak yang bertanya apakah mungkin akan memicu pandemi kembali. Menurutnya, setidaknya ada tiga penjelasan akan hal tersebut.
"Pertama,Cacar Monyet bukanlah penyakit baru. Data terbaru dari WHO tanggal 20 Oktober 2023 menunjukkan di dunia sudah ada 91.123 kasus Cacar Monyet di 115 negara di dunia. Tentu kita tidak tahu apakah data dari Jakarta sudah masuk dalam perhitungan ini," ungkap mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara dalam keterangan tertulisnya, Senin (23/10).
Baca juga: Dinas Kesehatan DKI Bagikan Tiga Langkah Cegah Wabah Cacar Monyet
Nah dari lebih 90 ribu kasus itu, WHO mencatat ada 157 kematian. "Kasus Cacar Monyet masih selalu ada di dunia dan nampaknya juga di negara kita," tegas Mantan Dirjen Pengendalian Penyakit serta Kepala Balitbangkes tersebut.
Hal kedua, Prof Tjandra menyebut bahwa ada beberapa hal yang harus diketahui sebelum menentukan sebuah penyakit menjadi pandemi. Setidaknya ada tahap-tahap yang akan dilalui suatu penyakit sebelum menjadi pandemi dunia
Tahap pertama, kalau ada penyakit yang berpotensi menular antara negara maka WHO akan memasukkannya ke dalam “Disease Outbreak News (DONs)”. Polio di Aceh beberapa bulan yang lalu misalnya, sudah masuk dalam “WHO Disease Outbreak News (DONs)”.
Nah, sejak Agustus 2023 sampai hari ini ada berbagai penyakit yang perlu diwaspadai dan oleh WHO dimasukkan dalam “Disease Outbreak News (DONs)”, dan tidak ada penyakit Cacar Monyet di dalamnya, walaupun ada peningkatan laporan kasus di Jakarta.
"Jadi tegasnya, pada situasi sekarang maka Cacar Monyet tidak masuk “WHO Disease Outbreak News (DONs)”, artinya secara global belum masuk penyakit yang berpotensi menyebar luas antara negara," jelas Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI atau Guru Besar FKUI itu.
Baca juga: Kasus Monkeypox Akibat Sex Beresiko Bertambah, Pemerintah Siapkan Vaksinasi
Tahap ke dua, sesudah masuk “Disease Outbreak News (DONs)” dan terus berkembang maka WHO akan menyatakannya sebagai kedaruratan kesehatan global, “Public Health Emergency of International Concern (PHEIC)”. Memang Cacar Monyet pernah dinyatakan sebagai PHEIC pada 23 Juli 2022.
Lalu, setelah hampir satu tahun penanganan intensif di dunia maka situasi kesehatan masyarakatnya terkendali dengan baik, sehingga pada 11 Mei 2023 dinyatakan bahwa Cacar Monyet bukan lagi “Public Health Emergency of International Concern (PHEIC)”.
"Tegasnya, kedaruratan kesehatan global Cacar Monyet sudah dinyatakan berakhir," tandas Prof Tjandra.
Ketiga, walaupun bukan lagi berstatus kedaruratan kesehatan global namun menurutnya kita tetap perlu waspada terhadap Cacar Monyet. "Sama seperti kita waspada terhadap berbagai penyakit menular lainnya," ucapnya.
Baca Juga: Tiga Kelompok Paling Rentan Tertular Cacar Monyet, Plus Cara Menghindari
Alasannya, karena Cacar Monyet adalah penyakit virus dari genus Orthopoxvirus, yang terdiri dari dia galur (“clade”) I dan II, dan yang sekarang banyak beredar di dunia adalah Clade IIb. "Akan bagus kalau pada kasus di Jakarta juga dijelaskan apa galur penyebabnhya," ujarnya.
Gejalanya adalah kelainan di kulit dan mukosa yang dapat terjadi sampai 2–4 minggu. Diikuti dengan demam, sakit kepala, nyeri otot, badan lemah dan pembesaran kelenjar getah bening.
"Penularan terjadi akibat kontak langsung, baik dari orang yang sakit maupun juga dari bahan yang terkontaminasi dan mungkin juga dari binatang, jadi ini penyakit zoonosis. Akan baik kalau pada ke tujuh kasus di Jakarta disampaikan juga pola penularannya sehingga mereka bisa terkenan penyakit ini, dan bagaimana penyelidikan epidemiolgid (PE) selanjutnya," jelas Prof Tjandra.
Baca Juga: Mengenal Virus Cacar Monyet, Bagaimana Penyebarannya dan Gejala yang Muncul
Menurut dia, kepastian diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan PCR pada kelainan di kulit pasien. Pasien biasanya ditangani secara suportif, walaupun di beberaa negara memang ada yang menggunakan obat tertentu, dan baik kalau kita diinformasukan jenis oba tapa yang diberikan pada pasien di Jakarta sekarang ini.
"Vaksinasi dapat membantu mencegah terjadinya penularan, khususnya pada mereka yang termasuk kelompok risiko tinggi," pungkas Prof Tjandra