Jakarta, Gatra.com- Kasus proyek base transceiver station (BTS) 4G seharusnya tidak masuk ke dalam ranah pidana korupsi. Hal ini lantaran proyek tersebut masih berjalan, sehingga belum bisa dibuktikan secara nyata dan pasti adanya kerugian keuangan negara.
Chairul Huda, ahli hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) menilai kerugian keuangan negara belum bisa disimpulkan terhadap sebuah pekerjaan yang belum selesai. Hal tersebut juga berlaku pada proyek-proyek pengadaan di kementerian atau lembaga negara.
“Belum bisa disebut ada kerugian negara. Sebab dalam perspektif hukum pidana, sebuah kerugian merupakan sebuah akibat yang sifatnya nyata dan pasti jumlahnya. Tidak bisa potensi kerugian. Ilustrasinya seperti belum ada orang mati bagaimana bisa disimpulkan ada (tindak pidana) pembunuhan?,” kata Chairul dikutip dari keterangan tertulisnya, Selasa (17/10).
Hal ini juga ia sampaikan saat menjadi saksi ahli dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi BTS 4G dengan terdakwa Anang Achmad Latif, mantan direktur utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kominfo di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.
Baca juga: Usut Korupsi dan Pencucian Uang 3 Tersangka BTS 4G, Kejagung Periksa 6 Orang Huawei
Pandangan Chairul Huda, yang juga penasihat ahli Kapolri Bidang Hukum Pidana tersebut menjawab pertanyaan penasihat hukum dari Anang Latif mengenai kesimpulan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Kejaksaan Agung yang menyebutkan bahwa korupsi pengadaan BTS 4G di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) merugikan negara Rp8,03 triliun.
BPKP dan Kejaksaan mengacu kepada jumlah menara yang belum selesai dibangun alias mangkrak sebanyak 3.242 BTS hingga 31 Maret 2022. Padahal, sebanyak 3.242 BTS yang dianggap mangkrak sebagian telah selesai dan hanya menunggu proses serah terima secara administratif, sebagian sudah dalam proses pembangunan, dan yang belum dibangun tetap bisa dinilai asetnya.
Penentuan cut-off date 31 Maret 2022 dalam perhitungan kerugian juga tidak sesuai dengan fakta hukum karena pembangunan BTS 4G terus berlanjut dan sampai Oktober 2023 telah selesai hampir 100%.
Mengingat belum ada kerugian negara yang nyata dan pasti, maka (kasus ini) tidak bisa masuk domain hukum pidana. Pendapat saya hal seperti itu ranahnya hukum administrasi,” simpul Chairul.
Baca juga: Bongkar Korupsi dan TPPU BTS 4G Edward Hutahayan, Kejagung Periksa Direktur Aplikanusa Lintasarta
Pada kesempatan yang sama, Atas Yuda Kandita, ahli pengadaan barang dan jasa menjelaskan bahwa Badan Layanan Umum (BLU) seperti BAKTI bisa menjalankan sebagian proses pengadaan layaknya korporasi. BLU bisa dikecualikan dalam pengadaan barang dan jasa yang biasa dilakukan olen satuan kerja pemerintah mengacu kepada Peraturan Presiden No 16 Tahun 2018.
“BLU berdasarkan teori pengadaan internasional bisa menentuka persyaratan kritikal dan boleh tidak menjalankan proses pengadaan dengan kompetisi terbatas,” ujarnya.
Keterangan ahli tersebut sekaligus menjawab dugaan bahwa pimpinan BAKTI bersekongkol menetapkan syarat konsorsium yang akan menjadi pemenang tender, yaitu pelaku usaha yang memiliki izin penyelenggara jaringan tertutup, dan memiliki teknologi (technology owner) dari infrastruktur BTS dengan teknologi 4G-LTE.